Senin, 26 Maret 2012

HAI, Ma!

WS. Rendra
Ma!
Bukan maut yang menggetarkan hatiku.
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya
dan kehilangan fitrahnya.


Ada malam-malam
aku menjalani lorong panjang
tanpa tujuan ke mana-mana.
Hawa dingin
masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada.
Bintang-bintang
menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan
kehadiran kegelapan.
Tidak ada pikiran.
Tidak ada perasaan.
Tidak ada suatu apa.


Hidup memang fana, Ma!
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada.


Kadang-kadang
aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi ayah bunda
dan ditolak para tetangga.
Atau aku terlantar di pasar.
Aku berbicara
tetapi orang-orang tidak mendengar.
Mereka merobek-robek buku
dan menertawakan cita-cita.
Aku marah. Aku takut.
Aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa.


Hidup memang fana, Ma!
Itu gampang aku terima.
Tetapi duduk memeluk lutut
sendirian di savana.
Membuat hidup tak ada harganya.


Kadang-kadang
aku merasa ditarik-tarik orang
ke sana kemari.
Mulut berbusa
sekedar karena tertawa.
Hidup cemar
oleh basa-basi.
Dan orang-orang mengisi waktu
dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan.
Atau percintaan tanpa asmara.
Dan sanggama yang tidak selesai.


Hidup memang fana.
Tentu saja, ma!
Tetapi akrobat pemikiran
dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit
sambil tak tahu kenapa.


Rasanya
setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan
di dalam hidup ini.
Tetapi, Ma,
setiap kali menyadari
adanya kamu dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah
di sekujur tubuhku.
Kelenjar-kelenjarku bekerja.
Sukmaku menyanyi.
Dunia hadir.
Cicak di tembok berbunyi.
Tukang kebun kedengaran berbicara
kepada putranya.


Hidup menjadi nyata.
Fitrahku kembali.
Mengingat kamu, Ma,
adalah mengingat kewajiban sehari-hari,
kesederhanaan bahasa prosa,
keindahan isi puisi.
Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, ma!
Masing pihak punya cita-cita.
Masing pihak punya kewajiban yang nyata.


Hai, Ma!
Apakah kamu ingat:
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit
dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu?
(Massya Allah!
Aku selalu kesengsam
pada bau kulitmu!)
Ingatkah? Waktu itu aku berkata:
"Kiamat boleh tiba.
Hidupku penuh makna."
Wah, aku memang tidak rugi
ketemu kamu di hidup ini.
Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa
bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa.

Sudah, ya, Ma!

Untuk Mamaku tercinta

WS.Rendra
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang bagai kau
Sederhana dalam tingkah dan bicara
Serta sangat menyayangiku
Mama
Burung dara jantan nakal yang sejak dulu kau pelihara
Kini terbang dan menemui jodohnya
Mama
Aku telah menemukan jodohku
Janganlah engkau cemburu
Hendaklah hatimu yang baik itu mengerti
Pada waktunya
Aku mesti kau lepas pergi

Senin, 19 September 2011

Bubur Ayam


Mulanya aku tak bermaksud menulis cerita ini yang menceritakan sosok penjual bubur ayam. Tetapi setelah kupikir-pikir mungkin cerita ini bermanfaat untuk tetap melestarikan bubur ayam sebagai menu sarapan pagi yang disukai banyak orang. Selain itu aku berharap setelah aku rampungkan ceritanya, aku dapat mengingat kembali pesan-pesan yang disampaikan penjual bubur ayam dan aku dengan mudah dapat menziarahi kuburan penjual bubur ayam saat aku membaca kembali cerita ini tanpa harus menziarahinya secara langsung, karena batu nisan penjual bubur ayam itu berada dikampung halamannya yang mungkin membutuhkan waktu dua hari untuk sampai disana.
Dan setelah aku menyelesaikan sebagian cerita. Beruntung aku mendapatkan komentar-komentar yang baik dari teman-teman yang telah membaca cerita ini untuk pertama kali. Dari komentar-komentar itu, mereka semua memintaku untuk segera menyelesaikan ceritanya. Tersebab menurut mereka cerita yang aku tulis ini sangat menarik dan sebagai media untuk mengingat kembali sikap baik penjual bubur ayam yang usianya lebih dari setengah abab. Aku pun hanya mengangguk-anggukkan kepala. Berkat dorongan komentar-komentar yang aku dapatkan maka akhirnya cerita ini dapat aku selesaikan.
Inilah ceritanya............
Di antara berjejalnya rumah-rumah begitu penuh sesak, ada yang mencuat. Adalah sebuah aroma sedap yang tercium dari dapur salah satu rumah. Itulah aroma sedap dari racikan khas bumbu bubur ayam.
Malam sudah hampir berganti hari. Beberapa ratus meter dari perumahan Tugu Baru, di muka gang kecil terpampang papan mungil bertuliskan “Bubur Ayam Mas Putra”. Inilah makanan kegemaranku sejak kecil, saat menjelang waktu sarapan pagi maupun ketika malam hari untuk mengisi perut yang terasa lapar.
Bubur ayam Mas Putra termasuk bubur legendaris di kampungku. Usaha bubur ayam itu dirintis sejak era 1961 olehnya. Dari raut wajah penjual bubur ayam itu sebenarnya menandakan kalau usianya tidak jauh berbeda dengan usia bubur ayamnya yang kurang lebih setengah abab. Namun ia meminta para pembelinya untuk tetap memanggilnya, Mas Putra.   
Menyantap hangatnya bubur ayam yang berusia lebih dari setengah abab itu, aku merasa bisa menikmati sejarah kampung yang belum aku ketahui. Betapa tidak, predikat sejarah bubur ayam Mas Putra bagai menghadirkan cerita-cerita tentang sebuah masa silam  mengenai perubahan-perubahan yang pernah terjadi dikampung Tugu Baru hingga saat ini.
Selain itu semua orang dikampung Tugu Baru ini tahu kalau bubur ayam Mas Putra paling nikmat dan enak. Tak ada yang dapat mentandinginya. Jika orang-orang dijaman sekarang menikmati sarapan pagi dengan roti-roti beraneka selai didalamnya, aku dan seluruh warga kampung hingga orang-orang yang menempati perumahan Tugu Baru tetap menikmati bubur ayam dengan bumbu-bumbu yang memiliki kekhasan yang tersaji saat menikmati bubur-bubur ayam saat sarapan pagi.
Orang-orang tak pernah melupakan sarapan-sarapan pagi yang terasa sangat nikmat. Bubur ayam Mas Putra salah satunya. Kalau untuk minuman hangat temannya bubur ayam, orang-orang akan diingatkan dengan kopi yang dijajakan Teteh Indri, ia adalah istri yang setia menemani Mas Putra saat senang maupun sulit.
Bubur ayam Mas Putra selalu ramai. Sebelum aku berangkat kerja selalu menyempatkan waktu untuk sarapan pagi dengan bubur ayam yang berusia lebih dari setengah abab itu. Berdesak-desakkan dengan pembeli yang lain. Sering kali aku mengalah dengan anak sekolah yang memakai seragam yang selalu didahulukannya. “Tunggulah sebentar, kamu pasti mendapatkan jatahmu.” Begitu komentar Mas Putra saat aku mulai memprotes karena terlalu lama menunggu,”Ingat, dulu kamu sama seperti anak-anak sekolah, pernah didahulukan.” Seketika aku menyerah begitu saja tanpa menunjukkan raut wajah yang nampak kesal karena Mas Putra mendahulukan anak-anak sekolah.
“Baiklah Mas, aku mengalah. Tapi aku minta sesuatu dari Mas Putra”
“Maksudmu?” Mas Putra balik bertanya kepadaku
“Aku harap Mas Putra bersedia menceritakan sejarah kampung ini yang belum aku ketahui.”Jawabku dengan santai
“Kenapa kamu tidak tanya langsung ke dua orang tuamu?, sepengetahuanku orang tuamu tahu lebih banyak mengenai kampung ini.”
“Apa yang Mas Putra katakan itu benar, tapi aku ingin mendengarnya dari Mas Malik,”Kataku padanya
Lalu setelah aku terus mendesaknya agar ia bersedia menceritakan sejarah kampung yang belum aku ketahui, akhirnya ia pun menjawabnya dengan lantang dan penuh semangat, “Baiklah, aku bersedia menceritakan semuanya. Tapi hanya yang aku ketahui”
“Tak menjadi masalah, yang terpenting Mas Putra bersedia. Lalu kapan Mas Putra punya waktu lenggang?”Tanyaku mengenai kesiapannya untuk menentukan kapan ia bisa menceritakan sejarah kampungku ini.
“Besok datanglah ke masjid saat waktu shalat subuh tiba, aku akan menceritakan apa yang aku ketahui,”Jawabnya mengakhiri perbincangan kami berdua.
****
Mentari pagi diufuk timur mulai menyapa. Seperti biasa aku yang pertama kali bangun pagi seperti orang linglung. Lalu yang pertama kali aku lihat. Adalah jam dinding yang letaknya disamping lemari pakaian. Sebenarnya jam dinding termasuk salah satu yang tak begitu aku sukai. Tapi begitu penting buatku agar tidak lupa akan waktu dari aktivitasku didalam kamar. 
Bergegas aku berbenah diri. Berharap dapat bertemu Mas Putra lebih cepat dan mendengar ceritanya tentang sejarah kampung yang belum aku ketahui. Lalu pada pagi yang dingin seperti itu aku tidak mampu menahan dinginnya udara pagi. Maka didalam pikiranku ingin membatalkan niat untuk sholat berjamaah dan mendengar ceritan Mas Putra tentang sejarah kampung. Namun aku tak punya pilihan karena sudah memiliki janji dengannya, untuk itu aku harus menepati janjiku kepadanya.
Pagi-pagi tak terlalu banyak orang-orang berdatangan ke masjid untuk sholat subuh berjamaah. Mungkin kurang dari semperempat warga yang rela bangun pagi-pagi. Tentu aku tidak mempersalahkan mereka yang tidak sholat berjamaah dimasjid. Dan tentunya para jemaah yang lain tidak mempersalahkan mereka.
Waktu shalat subuh tiba, masjid satu-satunya yang berada di kampung ini mengumandangkan azan, aku masih merapihkan kamar. Kemudian masjid itu mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat berjamaah. Aku jadi terburu-buru datang ke masjid. Begitu sampai masjid, aku langsung menempati tempat yang kosong pada saf terdepan. Saat aku melihat ke samping kiriku, seorang lelaki tua yang sepertinya aku mengenalinya, Mas Putra. Ternyata ia telah lebih dulu datang ke masjid. Aku pun jadi malu padanya, karena seharusnya aku lebih dulu datang ke masjid dari pada dirinya yang usianya lebih tua dari usiaku.
Selesai shalat berjamaah, tampak orang-orang satu per satu beringsut meninggalkan masjid. Akan tetapi sebagian dari mereka merubung Mas Putra, mereka kedengarannya seperti menanyakan apakah ia akan berjualan hari ini. Setelah sebagian mereka pulang ke rumah masing-masing, aku segera menghampirinya.
Di awal pembicaraan kami hanya sebatas mempertanyakan kabar masing-masing. Hingga ia membuka topik pembicaraan mengenai permintaanku kemarin pagi saat menunggu bubur ayam yang aku pesan.
Lalu dengan rinci dia menceritakan semuanya tanpa tergesa. Pada awalnya aku bertanya-tanya: kapan ia pertama kali berjualan bubur ayam dikampung ini. Tapi kemudian aku jadi penasaran karena setelah Mas Putra menceritakan kehidupan pemuda sepertiku empat puluh tahun yang lalu. Aku sangat terkejut karena pemuda-pemuda pada zaman itu begitu banyak pemuda yang cinta dengan shalat berjamaah di masjid, bahkan tampak pemuda-pemuda berdesak-desakan dengan jamaah yang lebih tua dari mereka. Pemuda-pemuda itu seakan-akan tidak mau kalah memenuhi setiap saf ruang utama masjid.
 Sungguh seperti ada rindu yang terlihat dari raut wajahnya, yaitu rindu melihat pemuda-pemuda di zaman sekarang yang sudah jauh berbeda dengan pemuda di zamannya dulu. Setelah ia menyelesaikan cerita mengenai kerinduannya akan pemuda-pemuda yang tampak begitu semangat shalat berjamaah, ia meminta komentarku mengenai hal ini. Aku pun hanya diam membisu tidak bisa menjawab karena ceritanya dan pertanyaan itu seolah-olah menengurku secara tidak langsung. Dan Mas Putra hanya tersenyum melihatku yang tidak bisa berkomentar mengenai ceritanya.
Beberapa menit berlalu, aku hanya diam tanpa bisa berkomentar mengenai cerita tentang pemuda pada zaman dulu yang selalu bersemangat shalat berjamaah. Ingin kuakhiri perbincangan ini, akan tetapi aku melihat gelagat Mas Putra masih sangat antusias menceritakan sejarah kampung yang belum aku ketahui. Ia bercerita sudah hampir satu setengah jam lamanya. Terkadang aku merasa cukup dengan cerita-ceritanya. Lalu entah kenapa tiba-tiba aku kembali tertarik dengan ceritanya mengenai hidup bersosial antar warga dikampung ini.
Menurut ceritanya para warga pada zamannya berbeda dengan para warga pada zaman sekarang ini. Pada awalnya aku bertanya-tanya perbedaan yang ia maksud, tapi kemudian aku merasa tersindir untuk kedua kalinya setelah mendengar ceritanya . Dengan mantap ia katakan kalau masyarakat pada zaman sekarang dikampung ini seperti memiliki dinding pembatas. Dinding pembatas yang ia maksud antara masyarakat perumahan mewah Tugu Baru dengan masyarakat diluar perumahan mewah itu.
Mas Putra menuturkan kalau pada zamannya tatkala didapati seorang warganya pergi direnggut maut maka para warga yang lain berbondong-bondong berdatangan ke rumah sahibul musibah untuk membantu meringankan duka tersebut dengan berbagai macam cara. Namun sekarang semua itu seperti ada pembatas, maka sering kali tatkala didapati seorang warga yang tinggal didalam perumahan mewah itu direnggut maut, para warga yang tidak tinggal diperumahan itu seolah-olah tidak ingin ikut campur dan membantu meringankan duka sahibul musibah, begitu pun sebaliknya.
Aku jadi heran sendiri mendengar ceritanya. Bahkan apa yang ia ceritakan seperti menusuk hulu hati. Betapa aku sangat terenyuh mendengar ceritanya, aku pun tidak menyangkal bahwa apa yang ia ceritakan benar adanya. Sungguh baru kali ini aku mengalami ada yang menyindirku secara halus dan sangat menusuk hulu hati, bahkan aku merasa malu dan merasa seperti orang linglung yang tidak tahu apa yang harus aku perbuat dan tiada henti sebanyak mungkin aku melafalkan istighfar: Astaghfirullah.
Seketika Mas Putra mengakhiri ceritanya saat istrinya menjemputnya untuk segera pulang karena istrinya dan ke dua anaknya yang seusia denganku merasa kerepotan melayani para pembeli yang telah ramai merubung warung bubur ayam miliknya. Maka Mas Putra tidak bisa menceritakan apa-apa lagi mengenai cerita masa lalu. Di akhir pembicaraan ia menitipkan pesan padaku agar selalu mengingat ceritanya dan dijadikan sebagai pelajaran.   
****
Pada suatu malam gerimis, kusambangi rumah penjual bubur ayam yang berusia lebih setengah abab itu. Beberapa meter dari perumahan Tugu Baru terdengar pengeras suara yang berasal dari toa masjid yang menyampaikan berita duka: “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, telah meninggal duni Bapak Putra Surjoyana yang bertempat tinggal RT. 12, RW. 13..........”
Aku sontak mendengarnya dan turut menyebut: “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Namun saat itu aku masih bertanya-tanya seolah-olah tidak mempercayai berita yang kudengar secara langsung. Tapi kemudian aku pun turut berduka dan sangat merasa kehilangan sosok penjual bubur ayam yang menjadi bukti bahwa bubur ayam telah menjadi bagian dari kehidupan kampungku. Bubur ayam dikonsumsi seluruh kalangan dan tidak mengenal dia tinggal diperumahan mewah atau tidak, dari orang-orang yang sudah berumur sampai anak balita dikampung-kampung ikut serta mengemari makanan khas yang bisa dinikmati saat pagi maupun malam hari.
Saat itu aku kembali teringat akan pesan terakhirnya yang menurutku sangat bermanfaat dan dapat dijadikan pelajaran bahwa tradisi-tradisi pada zaman terdahulu jangan dihilangkan bahkan dilupakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh dalam hati aku berjanji untuk memperbaiki segala kesalahan yang selama ini aku perbuat diantaranya, malas shalat berjamaah dimasjid dan tidak pernah meluangkan waktu untuk bersosialisasi dengan warga yang tinggal diperumahan Tugu baru itu. Aku berjanji.
                                                                                    Syaif hakim
                                                                                    Tanah baru, Juni 2011

Imam


Ramadhan hari ke sebelas pertama kali aku menginjakkan kaki di Desa ini. Aku menganggap desa ini seperti desa kelahiranku karena terdapat banyak kesamaan. Pada malam hari di bulan Ramadhan, warga desa berduyun-duyun datang ke Masjid untuk melaksanakan sholat taraweh. Setelah itu di lanjutkan dengan bertadarus bersama-sama hingga menjelang pagi.
Aku semakin senang ketika mengetahui bahwa tempat kosku yang baru di pemukiman yang padat penduduk itu tidak terlalu jauh dengan Masjid yang tampak berdiri gagah. Masjid itu bernama Masjid An-nur, aku mengetahui nama masjid itu dari lelaki tua yang memberi petunjuk bahwa tempat kosku tidak jauh dari masjid. Saat aku memperkenalkan diri, lelaki tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Imam di masjid tersebut, itu pun setelah kudesak-desak karena aku sebagai warga baru ingin menjalin tali silahturahmi dan melakukan pendekatan dengan dirinya dan warga yang lain, karena pasti aku membutuhkan bantuan mereka. Benar saja ketika aku hendak memasukan barang bawaan yang masih tertinggal di teras rumah, warga setempat menawarkan bantuan untuk mempermudah memasukan barang bawaanku yang sepertinya tidak mungkin aku selesaikan sendiri.
Pada awalnya mereka bertanya-tanya mengenai identitasku. Dengan mantap aku menjawab pertanyaan mereka. Tapi kemudian aku pun mempertanyakan dari mana mereka mengetahui bahwa aku warga baru, betapa aku sangat terkejut ternyata mereka mendapatkan informasi dari salah salah seorang warga yang sangat mereka hormati. Mereka menghormati dirinya bukan karena ia berprofesi sebagai Imam, akan tetapi mereka menghormatinya karena ilmu agama yang dimilikinya. Namun ada sisi negatif yang sepertinya membuat mereka sedikit membencinya. Adapun sisi negatif itu karena saat ia menjadi Imam, pasti mereka tidak akan khusyuk menjalankan shalat berjama’ah.
Aku yang penasaran akan cerita mereka berniat untuk mempertanyakannya secara jelas. Namun aku mengurungkan niatku karena merasa tidak sepatutnya sebagai warga baru mengetahui semua yang terjadi di desa ini. Maka untuk itu aku menyimpan rasa penasaranku walaupun sebenarnya tidak mudah untuk menyimpan rasa penasaran itu.
***
Ketika waktu sholat isya tiba, masjid itu mengumandangkan azan, aku segera menunda rasa laparku setelah seharian berpuasa. Seolah mengiringi takbir alam di malam itu, bibirku bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan tenang aku melangkahkan kedua kakiku meninggalkan kamar kos yang masih lengang. Sampai di masjid aku segera menuju saf terdepan. Sambil menunggu iqamat dikumandangkan aku shalat Tahiyatul Masjid. Lalu berdzikir yang menjadikan hati dan pikiranku terasa sejuk.
Satu-satu persatu orang-orang berdatangan memenuhi ruang utama masjid yang dipenuhi dengan anak laki-laki, remaja putra, dan Bapak-bapak. Sedangkan di lantai atas dipenuhi anak perempuan, remaja putri, dan Ibu-ibu. Kemudian salah seorang warga mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat berjamaah. Ketika aku telah siap shalat berjamaah, aku terkejut ternyata yang akan menjadi Imam adalah lelaki tua yang pernah memberi petunjuk bahwa tempat tinggalku tidak jauh dari masjid.
Lelaki tua itu sudah berdiri di atas sajadah dalam mihrab masjid. Aku sudah tak sabar untuk segera shalat berjamaah dan mendengar lantunan ayat Alquran dari mulut Haji Anwar—begitu ia dipanggil orang sekampung.
Saat Haji Anwar ingin memulai shalat berjamaah. Aku mendengar suara deheman yang berasal dari saf belakang yang sepertinya mereka merasa keberatan pabila shalat berjamaah kali ini diimami olehnya. Bahkan bisa dibilang riuh. Akan tetapi Haji Anwar tetap memulai shalatnya tanpa memperdulikan situasi yang sedang terjadi saat itu. Lalu shalat pun berjalan sebagaimana mestinya.
Pada rakaat pertama Haji Anwar membaca surat Al’ Alaq. Aku larut dalam penghayatan. Bacaannya terdengar begitu fasih membuatku hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibacanya. Hati dan pikiranku terbetot dalam tadabbur yang dalam. Orang-orang yang berada di saf terdepan sepertinya merasakan hal yang sama. Mereka pun hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca Haji Anwar. Namun sebagian jamaah yang berada di saf belakang sepertinya mereka tidak khusyuk dalam menjalankan shalat berjamaah.
Selesai shalat isya dan taraweh berjamaah, tampak orang-orang satu per satu beringsut meninggalkan masjid. Akan tetapi sebagian dari mereka merubung Haji Anwar, mereka menyalami dan mencium tangannya dengan penuh penghormatan. Setelah itu sebagian mereka pulang ke rumah masing-masing, aku segera menghampirinya seraya menyalami dan mencium tangannya lalu berpamitan dan meninggalkan Haji Anwar yang masih memberikan kesempatan pada para jamaah yang lain untuk menyalami dirinya.
Dalam perjalanan ke rumah aku melintasi beberapa warga yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang tidak kuketahui sehingga timbullah rasa penasaran dalam diriku untuk mengetahui perbincangan mereka, tapi tiba-tiba aku mengurungkan niat karena merasa tidak sepatutnya sebagai warga baru mengetahui semua yang terjadi di desa ini. Akan tetapi ketika aku mendengar bahwa mereka sedang membicarakan Haji Anwar yang sepertinya ada hubungannya dengan keriuhan yang terjadi saat beliau memulai shalat berjamaah, sehingga aku mendengar sebagian perbincangan mereka yang menilai bahwa mereka merasa keberatan pabila Haji Anwar menjadi imam shalat isya dan taraweh berjamaah dengan alasan ketika beliau menjadi imam pasti shalat taraweh akan terasa lama sekali. Dan setelah itu aku melanjutkan perjalanan pulang.
Aku terus melangkah menuju rumah. Ada yang menyesak dalam dada. Perbincangan yang sempat kudengar sendiri membuncahkan rasa kecewa dengan sebagian warga yang sepertinya mereka tidak senang pabila Haji Anwar menjadi imam shalat isya dan shalat taraweh berjamaah. Sebenarnya perasaanku saat itu ingin mempertanyakan alasan yang membuat mereka yang tidak senang pabila Haji Anwar menjadi imam saat shalat berjamaah. Akan tetapi aku merasa tidak pantas untuk mempertanyakannya karena keadaanku sebagai warga baru desa ini yang membuatku harus bersabar dan menyimpan semuanya dalam-dalam.
***
Beberapa hari berikutnya, karena kesibukan kerja yang begitu banyak menumpuk aku tak bisa bersosialisasi dengan warga yang lain. Maka dari itu ketika semua pekerjaan telah kuselesaikan, aku pun tidak mau membuang kesempatan ini.
Saat masjid itu mengumandangkan azan, aku telah sampai di masjid dan kali ini aku memilih saf di belakang. Ketika aku memperhatikan sebagian jamaah, aku mendapati Haji Anwar yang sedang sujud di saf terdepan. Kemudian salah seorang warga mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat isya berjamaah dan setelah itu shalat taraweh berjamaah.   
Pada shalat berjamaah kali ini aku merasa ada yang aneh karena tidak mendengar suara deheman seperti beberapa hari yang lalu. Mungkin karena shalat isya dan taraweh kali ini tak diimami oleh Haji Anwar sehingga apa yang aku alami beberapa hari yang lalu tidak terulang kembali sehingga shalat berjamaah kali ini terasa khusyuk.
Selesai shalat berjamaah, tampak orang-orang satu persatu beringsut merubung Haji Anwar, kemudian tampak saling bercakap-cakap, mungkin mereka meminta nasihat sebagaimana layaknya yang muda harus meminta nasihat dari yang tua. Setelah sebagian mereka pulang ke rumah masing-masing, aku segera menghampirinya.
Di awal pembicaraan kami hanya sebatas mempertanyakan kabar masing-masing. Lalu saat aku ingin membuka topik pembicaraan, sepertinya Haji Anwar mengetahui isi hatiku yang ingin mempertanyakan mengenai para warga yang merasa keberatan pabila ia menjadi imam saat shalat berjamaah. Meski begitu aku tetap mengeluarkan semua unek-unekku hingga tak tersisa.
Sejurus kemudian berhamburan penjelasan dari Haji Anwar bahwa sebenarnya ia sudah terlebih dahulu mengetahui kalau dirinya ketika menjadi imam shalat berjamaah pasti ada salah satu dari para jamaah yang merasa keberatan dengan alasan shalat berjamaah akan terasa lebih lama. Padahal menurutnya ia tidak pernah membaca surat-surat panjang. Akan tetapi tetap saja warga tidak pernah setuju bahwa setiap kali shalat berjamaah diimami olehnya.
Lalu Haji Anwar menyampaikan sesuatu yang mungkin bermanfaat untuk diriku sendiri, ia mengatakan bahwa apa yang terjadi didesa ini adalah hal yang wajar yang terjadi dikalangan masyarakat. Dan tidak mungkin dapat berubah dengan bantuan apa pun karena sesungguhnya semua itu datang dari diri sendiri yang tidak dengan ikhlas dalam menjalankan ibadah. Pabila kita menjalankan ibadah dengan ikhlas maka jalannya pun akan dipermudah dan tidak akan menjadi beban dalam menjalankan ibadah tersebut. Maka, untuk itu Haji Anwar menganggap hal ini tidak perlu dibesar-besarkan.
Aku melihat jam tangan. Sudah satu setengah jam aku menyampaikan semua unek-unek yang selama ini terganjal didalam hati. Maka pada saat itu kuambil keputusan untuk menyelesaikan perbincangan ini karena tak terasa perbincangan malam itu telah menyita waktu kami untuk beristirahat. Rupanya Haji Anwar langsung paham yang aku maksudkan. Tak lama kemudian kami keluar dari dalam masjid melangkah pergi. Di luar gerbang masjid sekali ia berpesan bahwa sesungguhnya keikhlasan itu membawa kita kepada kemudahan apa pun yang kita niatkan.
Sungguh betapa beruntungnya aku mendapatkan pesan dari seseorang yang baru kukenal namun aku merasakan bahwa ia seperti saudara sendiri karena pesan yang disampaikan sepertinya sangat tulus sehingga aku selalu berusaha menanamkan keikhlasan didalam kehidupan sehari-hari.  Semoga, Amien.
                                                                                                Depok 13 August 2011

Kamis, 30 Juni 2011

Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini


Lelaki yang terbaring di ruang perawatan VVIP rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta itu adalah sahabatku sejak kecil. Nama yang tertulis pada papan di bagian kaki, Tn. Rusli Hasan, 34 tahun. Seperti namanya pula, rupa dan tampangnya pun biasa-biasa saja, sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurusnya maka nampaknya ia seperti orang yang berbadan jangkung. Mata dan pipinya cekung. Saat itu aku dan seluruh anggota keluarganya tak henti-hentinya untuk memanjatkan doa untuk kesehatannya.
Beberapa keluarga inti yang menunggunya berada di luar ruang perawatan khusus. Lebih banyak lagi yang berada di ruang tunggu, yang menungguinya dengan sabar. Mereka semua menunggu, juga berserah diri, karena secara medis sahabatku tinggal menunggu waktu saat malaikat maut menjemput ajalnya.
Dalam keadaan mata sebagian tertutup, ia meminta anggota keluarga yang lain untuk menunggunya di luar saja. Dan hanya aku seorang yang diminta untuk menemaninya. Suaranya tak terdengar, tapi sangat jelas. Nadanya tegas, tak bergegas walau sepertinya banyak yang ingin diungkapkannya. Saat itu ia mencoba menceritakan semua apa yang ia alami sebelum ia berada di ruang perawatan ini. Selain itu ia juga berpesan agar aku membantu untuk mendidik anak yang masih kecil pabila ia telah meninggalkan kami untuk selamanya. Aku hanya bisa mendengarkannya dan menjawab seadanya.
Ajalnya semakin dekat, aku tak bisa menahan diri untuk mengeluarkan air mata. Saat itu ia mengatakan bahwa aku tak perlu menangis, aku pun langsung membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat di akhir hidupnya. Dan saat tak ada gerakan lagi dari seluruh tubuhnya aku meminta anggota keluarganya agar masuk ke dalam ruang perawatan. Akan tetapi beberapa orang dari mereka memanggil dokter atau perawat untuk memastikan keadaannya. Di saat dokter mengatakan bahwa tidak ada lagi napas kehidupan, seluruh anggota keluarganya pun menangis. Namun aku segera meminta mereka agar tidak menagisi kematiannya.
Saat itu aku merasa harus menyampaikan sesuatu kepada anggota keluaganya yang sebenarnya sahabatku itu ingin menceritakan secara langsung pada anak mereka. Namun ia tidak mampu menceritakannya secara langsung, karena ia takut anak dan istrinya tidak kuat menahan air mata saat mereka mendengar ceritanya. Ia juga mengatakan alasannya kenapa ia harus menceritakannya kepadaku, karena ia ingin pengalamannya dapat bermanfaat untuk diriku dan aku juga berharap apa yang dialami sahabatku dapat bermanfaat untuk orang lain.
Inilah cerita tanda – tanda akhir dimana maut mulai menjemput yang di ceritakan sahabatku.
****
 “Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini.” Itulah kalimat yang kerap di katakannya saat aku mendengar semua apa yang di ceritakannya. Biasanya setelah itu Ia akan menjelaskan bagaikan menjabarkan setiap rumus yang di pelajari dalam ilmu matematika.
”Semua yang bernyawa pasti akan mati, Wan”, lanjutnya. ”Apakah kamu sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kematian itu datang menjemputmu? Bahkan kita kamu tak tahu kapan kamu akan mati. Tapi ada tanda-tanda yang mungkin bisa kamu rasakan saat ajal sudah dekat & ada baiknya kita merenungi tanda – tanda kematian ini agar saat ajal menjemput, kamu sudah siap menyambutnya dengan ikhlas.” Nasehat itu yang mengawali apa yang di bicarakannya padaku.
Masih segar dalam ingatannya sepuluh tahun yang lalu saat Ibuya mengakhiri hidupannya dengan mengucap kalimat syahadat di akhir napasnya. Dan ia merasa sepertinya kini gilirannya untuk merasakan yang sama seperti apa yang di rasakan Ibunya sepuluh tahun yang lalu. Mungkin juga apa yang dirasakannya bisa dirasakan orang lain. Ini tergantung pada mereka, sadar atau tidak.
Saat itu pada awalnya ia tak pernah merasakan apa yang dengar dari cerita Ibunya sepuluh tahun yang lalu. Ia merasa seperti ingin memasuki dunia yang baru yang tidak mudah ia pahami. Tubuhnya gemetaran saat mendengar suara azan ashar mengema dari rumah ke rumah. Menyusup masuk ke dalam kamar mengugah jiwanya yang terlelap. Suara itu nyaring dan seperti memcumbunya sangat mesra, sehingga ia merasakan di kakinya seperti terasa dialiri getaran-getaran yang sama sekali tidak muda untuk ia pahami.
Getaran-getaran itu terasa di seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami getaran yang seakan-akan menggigil. Seperti hewan kurban yang baru disembelih. Jika kita perhatikan dengan teliti, kita akan mendapati seakan-akan daging itu bergetar. Baginya saat itu ia dapat merasakan dan kata hatinya mengatakan bahwa mungkin ini adalah tanda kematian yang pernah ia dengar dari cerita almarhum ibunya saat seratus hari menjelang kematian Ibunya.
Saat ia merasakan getaran-getaran yang terjadi, ia mencoba mengiringi takbir alam sore itu, bibirnya bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan berusaha untuk tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan kamar dan seisi rumah yang masih lengang. Sesampainya di masjid ia memperhatikan beberapa orang sedang menatapnya tanpa henti. Mereka mengatakan seperti melihat yang berbeda dari sikapnya hari itu. Namun ia tidak mengatakan apa yang telah ia rasakan beberapa menit yang lalu. Karena kini yang ingin ia lakukan hanya mendekatkan dirinya pada sang pencipta tanpa memikirkan beraneka cerita kehidupannya pada siapa pun.
 Saat takbir pertama dalam sholat, ia hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang di baca sang imam. Hati dan pikirannya terbetot dalam tadabbur yang dalam. Baru kali ini ia merasakan dalam sholatnya seperti merasakan ketakutan yang luar biasa bahkan teramat sangat. Ketakutan yang selama ini ia kira saat menjelang kematian hanya biasa saja sebagai ketakutan ternyata tidak ada artinya sama sekali di bandingkan dengan ketakutannya kali ini.
”Gusti Allah, apakah ini sebagai pertanda bahwa masaku akan berakhir. Jika engkau mencabut nyawaku, aku ingin dalam keadaan khusnul khatimah. Dan aku ingin sebelum kau menyabut nyawaku, aku ingin kau menghapus semua dosa-dosaku agar aku tidak masuk ke dalam neraka-Mu yang teramat sangat panas. Hanya itu yang aku inginkan di akhir hidup, Zat yang maha pengasih-penyayang yang mengusai hidup dan mati seluruh umat manusia di muka bumi ini”, doanya di akhir sholat ketika seluruh ja’maah yang lain telah pergi meninggalkannya dalam permohonan terakhirnya. Lalu setelah ia sadar bahwa yang ia rasakan sebagai tanda kematian, maka getaran-getaran yang ia rasakan berhenti dan hilang.
****
Beberapa bulan kemudian tiba-tiba ketakutannya berangsur-angsur mulai menipis, berganti dengan ketentraman, keteduhan dan kedamaian. Ia merasakan ketentraman, keteduhan dan kedamaian tanpa akhir, yang belum pernah ia alami. Semua yang ia rasakan sekarang itu mungkin karena ia sudah mulai menerima pabila sewaktu-waktu Tuhan mencabut nyawanya. Kalau pun memang boleh ia bertanya dan meminta tentang kematiannya, ia hanya ingin bertanya apakah ia akan mati dalam keadaan baik dan meminta pada-Nya agar dirinya mendapatkan pengampunan dosa.
Lalu pikirannya seperti lupa akan kehidupan dunia berserta isinya. Tidak lagi terlalu mengejar kehidupan duniawi, memikirkan nasib pekerjaannya yang ia dengar dariku waktu itu bahwa kantor akan mengurangi pegawai. Semua itu tidak lagi mengisi pikirannya, Kosong. Hanya ketulusan dan keiklasan menjalani ibadah di akhir hidupnya.
Ketika ia mendengar kembali azan ashar seperti beberapa bulan setelah ia merasakan getaran yang kali pertama beberapa bulan yang lalu. Perasaan ketentraman, keteduhan dan kedamaian yang sudah ia rasakan hampir tiga bulan yang lalu, ternyata masih jauh dari yang seharusnya. Karena kini perasaan beberapa bulan yang lalu saat menjelang ashar ia merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Selain itu ia merasakan bagian pusat tubuh berdenyut – denyut.
Ketika itu ia ingat pelajaran Gurunya tentang kematian. Gurunya mengatakan bahwa saat ia merasakan seperti ini, daun-daun yang bertuliskan namanya akan gugur dari pohon yang letaknya di atas Arsy. Maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya atas dirinya. Dan malaikat itu selalu mengikutinya sepanjang hari.
Pada suatu kesempatan saat ia berbicara padaku, ia mengambarkan seperti melihat orang yang sama sekali tidak ia kenal. Orang tersebut terlihat memberi senyuman padanya. Bahkan pernah ia di sapanya. Sampai kemudian ia merasakan orang yang menyapanya seperti berbeda dari orang-orang yang pernah di kenalnya. Orang yang di lihatnya dengan wajah berseri-seri seperti tanpa dosa. Keramahan dan senyumannya dapat ia mentenangkan pikirannya dan terasa sejuk di hati. Saat itu ia bertanya dalam hati, apakah ia malaikat yang akan menjemputku? Apakah kini giliranku untuk di jemputnya? Tetapi pertanyaan-pertanyaan tidak di jawab sepatah kata pun. Sampai kemudian ia jatuh sakit. Dan dokter yang memeriksa keadaannya meminta anggota keluarganya untuk merawat dirinya secara instensif dengan perawatan rumah sakit.
Setelah sahabatku di rawat di rumah sakit hampir satu minggu lamatnya ia baru mengetahui kondisinya setelah mendengar pembicaraan dokter dengan anggota keluarganya kalau dirinya mengidap penyakit paru-paru dan gagal ginjal akut. Kini ia semakin paham tentang keadaan dirinya. Bahkan sebelum ia jatuh sakit pun ia sudah tahu kalau ajalnya tinggal menunggu waktu. Maka dari itu beberapa bulan ini ia selalu dapat melihat ibunya dengan seorang lelaki berpakaian putih yang tidak di kenalnya selalu menemuinya di saat-saat tertentu.
Sejak aku mengetahui bahwa ia tak lagi mampu menceritakan. Saat itu aku memintanya untuk berhenti. Namun ia menolaknya dan menitip amanah terakhir agar aku membantu istrinya untuk mendidik anak-anaknya yang masih kecil. Saat itu aku menyagupinya dengan hanya anggukan kepala.
Lalu ketika aku hendak mengeluarkan air mata setelah mendengar cerita apa yang di alaminya, ia mengatakan seperti merasakan satu keadaan sejuk di bagian pusat dan hanya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bagian tenggorokan. Saat itu ia memintaku untuk membimbingnya mengucap kalimat Syahadat dan setelah itu sahabatku berdiam diri tanpa bercakap-cakap sepatah kata pun hingga dokter memastikan keadaannya bahwa ia telah meninggal dunia.
Inilah tanda – tanda akhir dimana maut mulai menjemput kita. Wallaahu’alam, kita semua tidak ada yang tahu, tapi setidaknya kita mempunyai gambaran kapan kematian itu akan segera menjemput.

                                                                                    Syaif hakim
                                                                                    Depok, Februari 2011

Warisan Umur


Buat kalian yang suka terhadap kisah-kisah masa lalu di desa ini, aku akan bercerita pada kalian. Mungkin kalian merasa aneh saat mengetahui nama kampung kalian ini, kenapa kampung kalian lebih terkenal dengan nama kampung warisan yang bukan nama sebenarnya, yakni yang kalian tahu kampung Nagasari. Tetapi inilah cerita yang sebenarnya terjadi dan harus kalian ketahui agar kalian dapat menceritakan kembali pada anak-cucuku nanti.
Saat itu di puncak malam, teriakan salah satu pemuda kampung memecah keheningan. Ia memanggil kedua sahabatnya yang lebih dulu jalan didepannya. Mereka bertiga memiliki tujuan yang sama dan mempunyai keinginan yang sama. Maka dari itu mereka ingin membicarakannya ditempat yang jauh dari para pendengar yang berusaha mendengarkan pembicaraan mereka.
Mereka bertiga bersahabat sejak SD. Dari persahabatan yang sudah lama itulah mereka seperti memiliki tali persaudaraan yang tak mungkin dapat dipisahkan oleh apa pun. Rumah mereka berdekatan. Usia mereka pun tak jauh berbeda. Ndut berusia 17 tahun. Jawa satu tahun lebih tua dari Ndut. Bagol lebih muda tiga tahun dari Jawa.
Lalu ketiga pemuda itu, kini berbincang dikediaman Jawa. Ketiganya duduk bersila di kursi yang mulai reot seakan tak mampu menopang berat mereka. Saat itu mereka mempunyai keinginan yang mungkin aneh menurut orang-orang lain. Keinginan mereka tak tanggung-tanggung, yakni mereka bertiga ingin memiliki tabungan bersama. Namun tabungan kali berbeda dari biasanya karena sesuai perjanjian yang berhak memiliki seluruh tabungan itu adalah salah seorang dari mereka yang masih hidup hingga kedua sahabat yang lain telah meninggal dunia. Dan tabungan mereka itu disebut oleh mereka sebagai warisan umur.
Saat itu matahari bersembunyi dibalik awan hitam. Gerimis mulai menyentuh atap rumah Jawa yang memang terbuat dari seng sehingga suara dari rintikan hujan itu terdengar dan menjadikan perbincangan mereka tidak terdengar keluar. Maka sesuai perjanjian mulai hari itu mereka harus membayar setiap harinya sebesar Rp. 10.000, dan mereka menyetujui salah satu syarat didalam perjanjian itu, apabila mereka bertiga telah pindah rumah, maka mereka wajib mengirimnya melalui biro jasa yang nantinya akan disimpan di rekening atas nama mereka bertiga yang telah mereka buat dari jauh-jauh hari sebelum perjanjian itu disetujui. Perjanjian mereka disaksikan oleh pihak-pihak yang telah mereka percayai, pihak itu nantinya yang berhak memberikan warisan itu kepada salah satu dari mereka bertiga yang  masih hidup.
Seperti hujan yang mengaris malam, perpisahan juga telah mengariskan persahabatan mereka. Satu-persatu dari mereka harus pergi meninggalkan kota Nagasari, karena mereka harus menjalani kehidupan mereka masing-masing. Di akhir pertemuan mereka berembuk untuk kali terakhir dan membuat beberapa kesepakatan, mereka harus tetap memberi kabar melalui surat mengenai kehidupan mereka, dan diantara mereka tidak boleh bermain mistik untuk mendapatkan warisan umur. Semua mengetahui arah tujuan masing-masing. Bagol menuju Desa Mayang sari, Jawa pulang ke kampung halamannya Desa Sawah timur, sedangkan Ndut tetap tinggal di Desa Nagasari.
Sejak mereka bertiga berpisah, mereka tidak pernah bertemu untuk sekedar bersilahturahmi. Semakin lama perpisahan itu, ujud persahabatan mereka seakan mulai rapuh walaupun mereka masih saling memberi kabar melalui surat.
****
Pagi hari yang cerah. Ketika itu Ndut terus menatap pohon mangga dan rambutan yang tak berbuah, yang ada hanya dedaunan kering. Sesaat bayangan akan kedua sahabatnya perlahan mulai mendekati. Melihat bayangan itu, hati dan pikirannya ingin mengetahui keadaan kedua sahabatnya. Di usianya yang menginjak delapan puluh lima tahun ia tidak lagi bertemu dengan kedua sahabatnya. Kerinduannya hanya dapat terobati dengan kabar angin dan surat-surat yang menjadi alat agar persahabatan mereka terus terjalin walaupun rasa persahabatan itu mulai rapuh.
Hingga pada suatu ketika ia tak lagi mendapatkan surat kedua sahabatnya. Namun dari kabar angin yang didapatkannya ia seakan tak percaya kalau kedua sahabatnya saling membunuh karena mereka menginginkan warisan yang telah mereka sepakati. Bahkan dari kabar angin itu kedua sahabatnya juga mempunyai maksud untuk membunuhnya. Akan tetapi mereka berdua terbunuh.
Tidak mudah untuk menguasai perasaannya yang galau saat itu. Hari-hari pertama merupakan siksaan batin baginya. Itulah saat-saat ia meragukan untuk mengambil warisan dari kedua sahabatnya. Ketika ia mengambil isi surat perjanjian, ia mencoba memikirkan sesuatu tentang warisan itu, ia berpikir antara mengambilnya atau memberikannya pada yayasan yatim piatu karena ia merasa segala kehidupannya telah tercukupi dan ia tidak perlu mengambil warisan yang hampir saja merusak nilai-nilai persahabatan.
Lalu ia meminta anak perempuannya untuk menghubungi pihak yang menjadi saksi dari perjanjian yang telah disetujui kedua sahabatnya. Mereka adalah beberapa warga yang seusia dengannya namun ada juga yang usianya lebih muda darinya, ia meminta mereka untuk datang kerumahnya tiga hari lagi. Ia juga meminta anaknya untuk mencari informasi dan menemui keluarga dari pihak kedua sahabatnya, ia menyuruh anaknya itu untuk meminta mereka menjadi saksi bahwa selama ini ada perjanjian yang tidak diketahui oleh mereka.
Keesokan harinya, saat mentari mulai meninggi ia mendengar suara pintunya diketuk. Begitu pintu terbuka, beberapa orang yang dengan mudah ia kenali sebagai saksi dari perjanjian itu, dan tiga pemuda yang tidak ia kenali. Akan tetapi ia merasa mereka bertiga yang tidak dikenalinya adalah keluarga dari ketiga sahabatnya. Lalu setelah ia berusaha menyalami satu-persatu secara hampir bersamaan ia memeluk ketiga pemuda itu, seperti ada gumpulan rindu yang hendak diledakkan di tubuhnya. Mereka tidak mengelak namun menerima semua itu tapi ada kata-kata yang membuat ketiganya heran. “Walaupun aku tidak bertemu dengan bapak kalian namun rasa rinduku seperti terobati”. Dan setelah itu ketiga baru sadar bahwa lelaki yang memeluk mereka adalah sahabat dari orang tua mereka. 
Lalu Ndut meminta mereka untuk duduk ditempat yang telah disiapkan. Ia menarik napas sejenak menghilangkan perasaan tidak percaya bahwa ia masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak dari kedua sahabatnya. Setelah ia dapat menguasai dirinya, ia pun mencoba untuk mengatakan maksud dan tujuannya meminta mereka datang kediamannya. ia menceritakan semuanya secara detail, hingga tidak ada satu pun yang tertinggal.
Hingga pada suatu ketika setelah Ndut menyelesaikan ceritanya, ketiga pemuda yang memang sudah dikenalinya bahwa mereka bertiga adalah anak-anak dari kedua sahabatnya seperti tidak percaya dari apa yang telah diceritakannya pada mereka. Akan tetapi setelah ia menyakinkan mereka beberapa kali, maka mereka pun percaya.
Lalu belum tuntas ia menceritakan semua yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu, salah satu pemuda menimpalinya dengan pertanyaan, “Lalu tujuan bapak meminta kami datang kesini untuk apa?, dan bukannya bapak yang berhak menerima warisan umur itu”
Pertanyaan itu seperti menyerang hulu hatinya. Ndut mencoba untuk melanjutkan kembali ceritanya yang dapat menjadi jawaban dari pertanyaan yang telah dilontarkan dari anak kandung yang menurut pengakuannya, ia adalah anak kandung dari sahabatnya yang usianya satu tahun lebih tua dari usianya, Jawa.
“Aku akan memberikan warisan itu pada yayasan yatim piatu, karena aku merasa merekalah yang berhak menerimanya walaupun sesuai perjanjian aku yang berhak mendapatkan warisan itu. Selain itu aku tahu, kedua orang tua kalian saling membunuh karena keserakahan telah menghapus rasa persahabatan dihati mreka, untuk itu aku tidak ingin setelah aku mendapatkan warisan umur itu maka rasa persahabatanku dengan kedua orang tua kalian hilang. ”setelah Ndut mengatakan kalimat itu, ada perasaan lega dihatinya.
Suasana tiba-tiba lengang. Hingga pemuda yang mengaku bahwa dirinya juga anak kandung dari Jawa, nampak bisa menerima keinginannya. Lalu satu persatu diantara mereka pun menyetujuinya tanpa sedikit pun menolaknya. Saat itu ada kepuasaan menyelinap didalam hati Ndut, karena ia tidak lagi merasa berat jika suatu saat ia pun menyusul ketiga sahabatnya. Setelah menuntaskan warisan umur itu, Ndut mengembuskan napas terakhirnya sesaat ia merasakan kepuasaan. Anak-anaknya, pihak-pihak yang menjadi saksi dari perjanjiannya, dan ketiga anak-anak dari kedua sahabatnya menghambur ke jenazahnya yang terlihat tersenyum. Kesedihan mereka segera menguar karena budi baiknya yang tidak mau menerima warisan umur itu yang seharusnya menjadi miliknya.
****
Buat kalian yang suka akan kisah-kisah masa lalu desa ini, aku sudah seharusnya menceritakan ini pada kalian. Karena kalianlah yang akan memiliki kesempatan untuk mengisahkan kepada anak-cucuku. Aku yakin keturunanku nanti akan merasa senang karena mereka mengetahui kenapa kampung mereka diberi nama kampung warisan. Dan saat itu mungkin aku telah meninggalkan kalian untuk selamanya. Maka, kalian harus menyimpannya dengan benar semua yang aku ceritakan pada kalian saat ini. kalian juga tidak boleh melebihkan atau mengurangi cerita ini, hanya itu pesanku kepada kalian yang suka akan kisah-kisah masa lalu desa ini.
                                                                                    Depok, Maret 2011
                                                                                    Syaif hakim