Jumat, 18 Maret 2011

12 Maret 2011


Untuk Mengenang teman, sahabat, dan saudaraku Yose Rizal

Tidak ada satu pun kata yang tepat aku pergunakan untuk protes terhadap waktu. Dan semua rasa yang pantas untuk di demo sedih dari diriku. Air mata yang selalu membasahi setiap celah di kelopak mata ini tidak mampu untuk mengatakan lebih banyak pesan yang disampaikan semua kata yang ingin aku ucapkan padanya ketika waktu akan mengakhiri persahabatan aku dengannya.
Baru kali ini aku merasakan ketakutan yang teramat sangat saat aku berada di sampingnya di hari terakhir pertemuanku dengannya di alam dunia ini. Seketika aku merasa tidak sanggup berbuat apa pun yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri saat ajal menjemputnya. Semua terlalu cepat, tak ada tanda, tidak ada firasat yang menunjukkan sampai akhirnya ia meninggalkanku. Bahkan aku merintih-rintih, merengek-rengek dalam ketakutan saat itu yang mendera-dera.
“Ya Allah, kalau memang ini sudah jalanmu untuk memisahkan persahabatan yang telah terjalin selama dua puluh dua tahun biarlah ia pergi meninggalkanku dengan kenangan-kenangan bersamanya,”aku yang hanya mampu menatapnya dengan kata hati yang tak mampu aku ucapkan saat malaikat maut menjemput ajalnya. Walaupun beberapa anggota keluarga yang berusaha untuk menolongnya lepas dari ajalnya. Namun tidak ada seorang pun yang mampu menolongnya agar terlepas dari kematiannya saat itu.
Aku dan beberapa anggota keluarganya tidak lagi sempat berpikir untuk memberi pertolongan kepadanya. Lalu seketika meluncurlah saran dari tetangga yang memang sebelum kedatanganku telah berusaha membantunya.
“Bawa kerumah sakit aja!! Kalau tidak salah Pak Soleh ada di rumah.”
Saat itu tanpa aku sadari salah satu anggota keluarganya mengikuti saran itu walaupun aku merasa pesimis untuk mencarikan jalan keluar agar dapat menolongnya dari kematian saat itu.
Dalam doa aku hanya bisa memohon yang terbaik untuk keadaannya. Semua aku kembalikan pada-Nya. Doa terus meluncur tanpa henti, ketika tiba-tiba aku sadar mobil yang membawa sahabatku untuk memberikan bantuan padanya nun jauh di sana bersama untaian doa yang terucap dari rongga mulutku dengan tulus.
****
Kala itu sebelum ajal menjemputnya, siang hari berulang kali Yose menghubungiku dengan pesan singkat. Namun aku tidak menjawabnya karena pulsa yang aku miliki tidak cukup untuk membalas pesan singkat yang di kirimnya. Mungkin ia membutuhkan bantuan dariku? Atau ia ingin menceritakan masalah pribadinya yang selalu di curahkannya padaku. Bagiku apa pun yang dapat aku lakukan untuknya dan aku mampu, maka aku akan menolongnya.
Tidak beberapa lama kemudian saat aku datang ke tempat yang biasanya aku dan teman-teman yang lain menghabiskan waktu dengan berbincang-bincang mengenai persoalan kehidupan, aku bertemu dengannya di sana. Melihat aku, wajah Yose tampak riang.
“Hei, kemana aja saja sih? Sudah beberapa kali aku mengirimkan pesan singkat padamu, tapi kamu tidak membalasnya.”
“memang apa yang kamu butuhkan dariku?”
“aku butuh teman untuk mengambil ijazah Kak Fajar disalah satu perusahaan”
“dimana?”tanyaku
“Mall taman anggrek, kamu bisakan mengantarku ke sana?”
“kapan?, kalau besok aku tidak bisa”tanyaku mencoba memastikan kapan aku akan mengantarnya kesana
“besok!!”Jawabnya tanpa jeda,”ini terakhir kalinya kok aku memintamu untuk mengantarku, ayolah.....,aku harap kamu bersedia”sahut Yose nerocos tanpa memberikan waktu untuk aku menjawabnya
Aku menghirup napas panjang saat ia mengatakan kalau permintaanya kali itu adalah permintaan yang terakhir. Aku berusaha mengusai diriku agar tidak menolak ajakkannya, karena aku takut ia akan kecewa,“baiklah aku bisa, tapi setelah itu kita langsung pulang yach”
“Siip dech aku janji setelah itu kita langsung pulang”
Setelah itu pembicaraan aku dengannya tidak dilanjutkan karena kawan-kawan yang lain membicarakan persoalan kehidupan yang memaksa kami berdua untuk larut dalam pembicaraan itu hingga malam di tingkahi adzan subuh dari pengeras suara di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kami.
Keesokan harinya aku berjalan tergesa menuju rumah sahabatku. Tepat di depan rumahnya, Yose telah menunggu dengan motor kesayangannya yang di panggilnya dengan sebutan Si Jagur. Sebenarnya ketika itu di antara kami berdua belum pernah ke mall taman anggrek dan tidak tahu jalan. Namun dengan modal nekat akhirnya kami pun berangkat dengan motor kesanyangannya.
Kami berdua menikmati perjalanan dengan hati nyaman dan bahagia. Meskipun sebenarnya ada perasaan takut kalau kami berdua tersasar. Selain itu pikiranku lebih banyak tercurah pada kesehatan sahabatku itu yang aku ketahui banwa ia memiliki penyakit kekurangan sel darah putih, pabila ia terlalu lelah maka dengan cepat kesehatannya akan menurun. Entah kenapa aku merasa kali ini terasa begitu indah berjalan dengannya kali ini. Berjalan di sepanjang jalan kota Jakarta dengan motor kesayangannya menjadikan bertambahnya perasaan bahagiaku kali ini.
Sesampainya ditempat tujuan di basement mall taman anggrek dengan cepat dan cermat kami mencari tempat pakir kendaraan bermotor. Selama dua puluh menit kami memutari seluruh penjuru gedung, akhirnya kami pun dapat memakirkan sih Jagur dengan aman. Setelah itu aku dan Yose mencari perusahaan yang kami maksud, dan ternyata perusahaan yang kami cari sudah pindah dua tahun yang lalu, kami pun mencoba bertanya pada siapa pun. Namun tidak ada satu pun yang mengetahuinya, dan akhirnya usaha kami hanya sia-sia saja.
Dalam perjalanan pulang tanpa kami duga sebelumnya, motor kesayangan Yose mogok. Saat itu terlihat dari raut mukanya panik karena perjalanan kami untuk sampai di rumah masih amat jauh. Lalu dengan doa dan kenyakinan Yose, motor kesanyagannya itu kembali seperti semula dan terus melaju dengan tenang hingga tak terasa kami sudah sampai didepan rumahnya dengan selamat.
****
Saat senja benar-benar ditingkahi adzan magrib yang sayup dan terasa sangat panjang. Aku sudah siap menjalani ritual malam. Bagi sebagian mereka yang penat dengan tugas-tugas ditempat kerjanya, malam adalah kenikmatan bersama teman-teman atau berkumpul bersama keluarga. Namun buatku kali itu ingin rasanya bersuka ria bersama teman-teman yang sebaya denganku atau pada mereka yang lebih tua. Setelah aku bersama mereka ditempat biasa kami berkumpul, aku merasakan nuansa persahabatan yang begitu kental. Dan seluruh sahabat-sahabat yang lain berkumpul bersama di salah satu tempat yang sering kali kami jadikan sebagai tempat bertukar pikiran mengenai apa saja yang terjadi di kehidupan kami sehari-hari. Aku sama sekali tidak bisa menikmati suasana persahabatan karena aku ingin istirahat setelah menjalani aktivitas yang sangat padat yang tidak mungkin aku tinggalkan.
Tak biasanya malam itu terasa sangat berbeda. Hujan yang tadi sore menguyur kediamanku sudah berhenti. Tapi langit masih hitam. Nuansa kelam itulah membuatku merasa berbeda dari malam-malam biasanya. Saat aku berbincang-bincang dengannya malam itu, aku bermaksud untuk menanyakan kepadanya tentang kegiatannya hari esok. Ketika itu Yose mengatakan bahwa akan ikut serta berangkat besan karena esok adalah hari pernikahan salah satu sahabat kami dan sahabat kami itu masih bersaudara dekat dengannya. Maka aku pun bermaksud untuk ikut serta. Lalu setelah perbincangan itu mohon pamit padanya karena waktu sudah telalu malam selain itu aku harus beristirahat agar kesehatanku terjaga walaupun Yose memintaku untuk menemaninya untuk terakhir kalinya.
Keesokan harinya aku berangkat besan dengan salah satu teman yang usianya lebih muda dariku, dia masih memiliki ikatan persaudaraan dengan Yose. Aku merasa keberangkatanku sangat tidak nyaman. Tubuh dan jasadku ikut serta bersama rombongan besan. Namun pikiranku tertinggal bersamanya, karena sebelum keberangkatan dengan rombongan besan aku mendengar kabar bahwa Yose merasakan seksa napas. Aku ingin cepat pulang dan sudah merasa bosan walaupun acara pernikahan itu menampilkan hiburan yang aku sukai, Marawis.
“Gardens....!”
Lamunanku buyar
“Yose meninggal.....! Lo nggak kerumahnya melihat almarhum?”
Aku tergagap, hampir tak percaya. Benarkah berita yang aku dengar bahwa sahabatku meninggalkanku untuk selamanya.
“Gardens, kok diam?”
Aku tak bergeming ketika mendengar berita itu hingga sahabatku yang memberi kabar tentang kematian Yose, pergi meninggalkanku sendiri. Jiwaku seperti tercabik-cabik, terjerembab pada rasa bersalah yang tidak mampu memberikan pertolongan kepadanya. Aku menangis dalam isak yang nyaris tidak terdengar. Aku berusaha untuk memutar waktu, saat aku hanya dapat melihat namun tidak mampu memberikan pertolongan. Aku menyesal, sangat menyesal, mengapa tadi aku hanya bisa pasrah total terhadap apa yang kusaksikan. Semua hanya tinggal perasaan menyesal. Yose telah berpulang ke rahmatullah dengan tenang.
Matahari telah meratap. Bermohonlah aku pada Tuhan, kepada pemilik ruh di seluruh jagat raya ini agar apa yang aku dengar dari berita tentang sahabatku tidak benar adanya. Lama aku tercenung hingga orang tuaku menengur dan menanyakan berita yang sebenarnya. Namun aku lenyap membawa warna-warni cerita disaat-saat terakhir bersamanya. Matahari pun menangis, setelah aku mengingat kejadian beberapa hari yang lalu sebelum sahabatku pergi untuk selamanya. Tangisannya abadi, sesalnya juga abadi karena saat itu aku tidak banyak meluangkan waktuku untuk bersamanya seperti hari-hari biasa yang selalu di lalui dengan curahan hati tentang apa yang aku alami baik itu mengenai perasaan hati terhadap lawan jenis maupun masalah pribadi yang ada sangkut-pautnya dengan keluarga.
Selamat jalan Yose, aku tahu bahwa Tuhan sangat mencintaimu. Semua ini meyakinkan aku bahwa kekuatan dan keagungan cinta Tuhan sangat besar, semoga kau tenang disisi-Nya. Aku bangga denganmu, meskipun kau berbeda denganku dan sahabat-sahabat yang lain tapi kau memiliki semangat yang lebih tinggi dariku dan yang lainnya. Kau sosok yang terbaik yang pernah kukenal selama ini, kau selalu ceria, memberi semangat kepada semua orang termasuk aku. Kau selalu kuat dan tegar menghadapi penyakit yang membuatmu menderita, semoga dengan penyakit yang kau derita dapat meleburkan semua dosa-dosamu. Aku akan selalu mengenangmu.
                                                                                               
                                                                                                Depok, 19-03-2011
                                                                                                Syaif hakim