Kamis, 30 Juni 2011

Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini


Lelaki yang terbaring di ruang perawatan VVIP rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta itu adalah sahabatku sejak kecil. Nama yang tertulis pada papan di bagian kaki, Tn. Rusli Hasan, 34 tahun. Seperti namanya pula, rupa dan tampangnya pun biasa-biasa saja, sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurusnya maka nampaknya ia seperti orang yang berbadan jangkung. Mata dan pipinya cekung. Saat itu aku dan seluruh anggota keluarganya tak henti-hentinya untuk memanjatkan doa untuk kesehatannya.
Beberapa keluarga inti yang menunggunya berada di luar ruang perawatan khusus. Lebih banyak lagi yang berada di ruang tunggu, yang menungguinya dengan sabar. Mereka semua menunggu, juga berserah diri, karena secara medis sahabatku tinggal menunggu waktu saat malaikat maut menjemput ajalnya.
Dalam keadaan mata sebagian tertutup, ia meminta anggota keluarga yang lain untuk menunggunya di luar saja. Dan hanya aku seorang yang diminta untuk menemaninya. Suaranya tak terdengar, tapi sangat jelas. Nadanya tegas, tak bergegas walau sepertinya banyak yang ingin diungkapkannya. Saat itu ia mencoba menceritakan semua apa yang ia alami sebelum ia berada di ruang perawatan ini. Selain itu ia juga berpesan agar aku membantu untuk mendidik anak yang masih kecil pabila ia telah meninggalkan kami untuk selamanya. Aku hanya bisa mendengarkannya dan menjawab seadanya.
Ajalnya semakin dekat, aku tak bisa menahan diri untuk mengeluarkan air mata. Saat itu ia mengatakan bahwa aku tak perlu menangis, aku pun langsung membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat di akhir hidupnya. Dan saat tak ada gerakan lagi dari seluruh tubuhnya aku meminta anggota keluarganya agar masuk ke dalam ruang perawatan. Akan tetapi beberapa orang dari mereka memanggil dokter atau perawat untuk memastikan keadaannya. Di saat dokter mengatakan bahwa tidak ada lagi napas kehidupan, seluruh anggota keluarganya pun menangis. Namun aku segera meminta mereka agar tidak menagisi kematiannya.
Saat itu aku merasa harus menyampaikan sesuatu kepada anggota keluaganya yang sebenarnya sahabatku itu ingin menceritakan secara langsung pada anak mereka. Namun ia tidak mampu menceritakannya secara langsung, karena ia takut anak dan istrinya tidak kuat menahan air mata saat mereka mendengar ceritanya. Ia juga mengatakan alasannya kenapa ia harus menceritakannya kepadaku, karena ia ingin pengalamannya dapat bermanfaat untuk diriku dan aku juga berharap apa yang dialami sahabatku dapat bermanfaat untuk orang lain.
Inilah cerita tanda – tanda akhir dimana maut mulai menjemput yang di ceritakan sahabatku.
****
 “Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini.” Itulah kalimat yang kerap di katakannya saat aku mendengar semua apa yang di ceritakannya. Biasanya setelah itu Ia akan menjelaskan bagaikan menjabarkan setiap rumus yang di pelajari dalam ilmu matematika.
”Semua yang bernyawa pasti akan mati, Wan”, lanjutnya. ”Apakah kamu sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kematian itu datang menjemputmu? Bahkan kita kamu tak tahu kapan kamu akan mati. Tapi ada tanda-tanda yang mungkin bisa kamu rasakan saat ajal sudah dekat & ada baiknya kita merenungi tanda – tanda kematian ini agar saat ajal menjemput, kamu sudah siap menyambutnya dengan ikhlas.” Nasehat itu yang mengawali apa yang di bicarakannya padaku.
Masih segar dalam ingatannya sepuluh tahun yang lalu saat Ibuya mengakhiri hidupannya dengan mengucap kalimat syahadat di akhir napasnya. Dan ia merasa sepertinya kini gilirannya untuk merasakan yang sama seperti apa yang di rasakan Ibunya sepuluh tahun yang lalu. Mungkin juga apa yang dirasakannya bisa dirasakan orang lain. Ini tergantung pada mereka, sadar atau tidak.
Saat itu pada awalnya ia tak pernah merasakan apa yang dengar dari cerita Ibunya sepuluh tahun yang lalu. Ia merasa seperti ingin memasuki dunia yang baru yang tidak mudah ia pahami. Tubuhnya gemetaran saat mendengar suara azan ashar mengema dari rumah ke rumah. Menyusup masuk ke dalam kamar mengugah jiwanya yang terlelap. Suara itu nyaring dan seperti memcumbunya sangat mesra, sehingga ia merasakan di kakinya seperti terasa dialiri getaran-getaran yang sama sekali tidak muda untuk ia pahami.
Getaran-getaran itu terasa di seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami getaran yang seakan-akan menggigil. Seperti hewan kurban yang baru disembelih. Jika kita perhatikan dengan teliti, kita akan mendapati seakan-akan daging itu bergetar. Baginya saat itu ia dapat merasakan dan kata hatinya mengatakan bahwa mungkin ini adalah tanda kematian yang pernah ia dengar dari cerita almarhum ibunya saat seratus hari menjelang kematian Ibunya.
Saat ia merasakan getaran-getaran yang terjadi, ia mencoba mengiringi takbir alam sore itu, bibirnya bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan berusaha untuk tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan kamar dan seisi rumah yang masih lengang. Sesampainya di masjid ia memperhatikan beberapa orang sedang menatapnya tanpa henti. Mereka mengatakan seperti melihat yang berbeda dari sikapnya hari itu. Namun ia tidak mengatakan apa yang telah ia rasakan beberapa menit yang lalu. Karena kini yang ingin ia lakukan hanya mendekatkan dirinya pada sang pencipta tanpa memikirkan beraneka cerita kehidupannya pada siapa pun.
 Saat takbir pertama dalam sholat, ia hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang di baca sang imam. Hati dan pikirannya terbetot dalam tadabbur yang dalam. Baru kali ini ia merasakan dalam sholatnya seperti merasakan ketakutan yang luar biasa bahkan teramat sangat. Ketakutan yang selama ini ia kira saat menjelang kematian hanya biasa saja sebagai ketakutan ternyata tidak ada artinya sama sekali di bandingkan dengan ketakutannya kali ini.
”Gusti Allah, apakah ini sebagai pertanda bahwa masaku akan berakhir. Jika engkau mencabut nyawaku, aku ingin dalam keadaan khusnul khatimah. Dan aku ingin sebelum kau menyabut nyawaku, aku ingin kau menghapus semua dosa-dosaku agar aku tidak masuk ke dalam neraka-Mu yang teramat sangat panas. Hanya itu yang aku inginkan di akhir hidup, Zat yang maha pengasih-penyayang yang mengusai hidup dan mati seluruh umat manusia di muka bumi ini”, doanya di akhir sholat ketika seluruh ja’maah yang lain telah pergi meninggalkannya dalam permohonan terakhirnya. Lalu setelah ia sadar bahwa yang ia rasakan sebagai tanda kematian, maka getaran-getaran yang ia rasakan berhenti dan hilang.
****
Beberapa bulan kemudian tiba-tiba ketakutannya berangsur-angsur mulai menipis, berganti dengan ketentraman, keteduhan dan kedamaian. Ia merasakan ketentraman, keteduhan dan kedamaian tanpa akhir, yang belum pernah ia alami. Semua yang ia rasakan sekarang itu mungkin karena ia sudah mulai menerima pabila sewaktu-waktu Tuhan mencabut nyawanya. Kalau pun memang boleh ia bertanya dan meminta tentang kematiannya, ia hanya ingin bertanya apakah ia akan mati dalam keadaan baik dan meminta pada-Nya agar dirinya mendapatkan pengampunan dosa.
Lalu pikirannya seperti lupa akan kehidupan dunia berserta isinya. Tidak lagi terlalu mengejar kehidupan duniawi, memikirkan nasib pekerjaannya yang ia dengar dariku waktu itu bahwa kantor akan mengurangi pegawai. Semua itu tidak lagi mengisi pikirannya, Kosong. Hanya ketulusan dan keiklasan menjalani ibadah di akhir hidupnya.
Ketika ia mendengar kembali azan ashar seperti beberapa bulan setelah ia merasakan getaran yang kali pertama beberapa bulan yang lalu. Perasaan ketentraman, keteduhan dan kedamaian yang sudah ia rasakan hampir tiga bulan yang lalu, ternyata masih jauh dari yang seharusnya. Karena kini perasaan beberapa bulan yang lalu saat menjelang ashar ia merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Selain itu ia merasakan bagian pusat tubuh berdenyut – denyut.
Ketika itu ia ingat pelajaran Gurunya tentang kematian. Gurunya mengatakan bahwa saat ia merasakan seperti ini, daun-daun yang bertuliskan namanya akan gugur dari pohon yang letaknya di atas Arsy. Maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya atas dirinya. Dan malaikat itu selalu mengikutinya sepanjang hari.
Pada suatu kesempatan saat ia berbicara padaku, ia mengambarkan seperti melihat orang yang sama sekali tidak ia kenal. Orang tersebut terlihat memberi senyuman padanya. Bahkan pernah ia di sapanya. Sampai kemudian ia merasakan orang yang menyapanya seperti berbeda dari orang-orang yang pernah di kenalnya. Orang yang di lihatnya dengan wajah berseri-seri seperti tanpa dosa. Keramahan dan senyumannya dapat ia mentenangkan pikirannya dan terasa sejuk di hati. Saat itu ia bertanya dalam hati, apakah ia malaikat yang akan menjemputku? Apakah kini giliranku untuk di jemputnya? Tetapi pertanyaan-pertanyaan tidak di jawab sepatah kata pun. Sampai kemudian ia jatuh sakit. Dan dokter yang memeriksa keadaannya meminta anggota keluarganya untuk merawat dirinya secara instensif dengan perawatan rumah sakit.
Setelah sahabatku di rawat di rumah sakit hampir satu minggu lamatnya ia baru mengetahui kondisinya setelah mendengar pembicaraan dokter dengan anggota keluarganya kalau dirinya mengidap penyakit paru-paru dan gagal ginjal akut. Kini ia semakin paham tentang keadaan dirinya. Bahkan sebelum ia jatuh sakit pun ia sudah tahu kalau ajalnya tinggal menunggu waktu. Maka dari itu beberapa bulan ini ia selalu dapat melihat ibunya dengan seorang lelaki berpakaian putih yang tidak di kenalnya selalu menemuinya di saat-saat tertentu.
Sejak aku mengetahui bahwa ia tak lagi mampu menceritakan. Saat itu aku memintanya untuk berhenti. Namun ia menolaknya dan menitip amanah terakhir agar aku membantu istrinya untuk mendidik anak-anaknya yang masih kecil. Saat itu aku menyagupinya dengan hanya anggukan kepala.
Lalu ketika aku hendak mengeluarkan air mata setelah mendengar cerita apa yang di alaminya, ia mengatakan seperti merasakan satu keadaan sejuk di bagian pusat dan hanya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bagian tenggorokan. Saat itu ia memintaku untuk membimbingnya mengucap kalimat Syahadat dan setelah itu sahabatku berdiam diri tanpa bercakap-cakap sepatah kata pun hingga dokter memastikan keadaannya bahwa ia telah meninggal dunia.
Inilah tanda – tanda akhir dimana maut mulai menjemput kita. Wallaahu’alam, kita semua tidak ada yang tahu, tapi setidaknya kita mempunyai gambaran kapan kematian itu akan segera menjemput.

                                                                                    Syaif hakim
                                                                                    Depok, Februari 2011

Warisan Umur


Buat kalian yang suka terhadap kisah-kisah masa lalu di desa ini, aku akan bercerita pada kalian. Mungkin kalian merasa aneh saat mengetahui nama kampung kalian ini, kenapa kampung kalian lebih terkenal dengan nama kampung warisan yang bukan nama sebenarnya, yakni yang kalian tahu kampung Nagasari. Tetapi inilah cerita yang sebenarnya terjadi dan harus kalian ketahui agar kalian dapat menceritakan kembali pada anak-cucuku nanti.
Saat itu di puncak malam, teriakan salah satu pemuda kampung memecah keheningan. Ia memanggil kedua sahabatnya yang lebih dulu jalan didepannya. Mereka bertiga memiliki tujuan yang sama dan mempunyai keinginan yang sama. Maka dari itu mereka ingin membicarakannya ditempat yang jauh dari para pendengar yang berusaha mendengarkan pembicaraan mereka.
Mereka bertiga bersahabat sejak SD. Dari persahabatan yang sudah lama itulah mereka seperti memiliki tali persaudaraan yang tak mungkin dapat dipisahkan oleh apa pun. Rumah mereka berdekatan. Usia mereka pun tak jauh berbeda. Ndut berusia 17 tahun. Jawa satu tahun lebih tua dari Ndut. Bagol lebih muda tiga tahun dari Jawa.
Lalu ketiga pemuda itu, kini berbincang dikediaman Jawa. Ketiganya duduk bersila di kursi yang mulai reot seakan tak mampu menopang berat mereka. Saat itu mereka mempunyai keinginan yang mungkin aneh menurut orang-orang lain. Keinginan mereka tak tanggung-tanggung, yakni mereka bertiga ingin memiliki tabungan bersama. Namun tabungan kali berbeda dari biasanya karena sesuai perjanjian yang berhak memiliki seluruh tabungan itu adalah salah seorang dari mereka yang masih hidup hingga kedua sahabat yang lain telah meninggal dunia. Dan tabungan mereka itu disebut oleh mereka sebagai warisan umur.
Saat itu matahari bersembunyi dibalik awan hitam. Gerimis mulai menyentuh atap rumah Jawa yang memang terbuat dari seng sehingga suara dari rintikan hujan itu terdengar dan menjadikan perbincangan mereka tidak terdengar keluar. Maka sesuai perjanjian mulai hari itu mereka harus membayar setiap harinya sebesar Rp. 10.000, dan mereka menyetujui salah satu syarat didalam perjanjian itu, apabila mereka bertiga telah pindah rumah, maka mereka wajib mengirimnya melalui biro jasa yang nantinya akan disimpan di rekening atas nama mereka bertiga yang telah mereka buat dari jauh-jauh hari sebelum perjanjian itu disetujui. Perjanjian mereka disaksikan oleh pihak-pihak yang telah mereka percayai, pihak itu nantinya yang berhak memberikan warisan itu kepada salah satu dari mereka bertiga yang  masih hidup.
Seperti hujan yang mengaris malam, perpisahan juga telah mengariskan persahabatan mereka. Satu-persatu dari mereka harus pergi meninggalkan kota Nagasari, karena mereka harus menjalani kehidupan mereka masing-masing. Di akhir pertemuan mereka berembuk untuk kali terakhir dan membuat beberapa kesepakatan, mereka harus tetap memberi kabar melalui surat mengenai kehidupan mereka, dan diantara mereka tidak boleh bermain mistik untuk mendapatkan warisan umur. Semua mengetahui arah tujuan masing-masing. Bagol menuju Desa Mayang sari, Jawa pulang ke kampung halamannya Desa Sawah timur, sedangkan Ndut tetap tinggal di Desa Nagasari.
Sejak mereka bertiga berpisah, mereka tidak pernah bertemu untuk sekedar bersilahturahmi. Semakin lama perpisahan itu, ujud persahabatan mereka seakan mulai rapuh walaupun mereka masih saling memberi kabar melalui surat.
****
Pagi hari yang cerah. Ketika itu Ndut terus menatap pohon mangga dan rambutan yang tak berbuah, yang ada hanya dedaunan kering. Sesaat bayangan akan kedua sahabatnya perlahan mulai mendekati. Melihat bayangan itu, hati dan pikirannya ingin mengetahui keadaan kedua sahabatnya. Di usianya yang menginjak delapan puluh lima tahun ia tidak lagi bertemu dengan kedua sahabatnya. Kerinduannya hanya dapat terobati dengan kabar angin dan surat-surat yang menjadi alat agar persahabatan mereka terus terjalin walaupun rasa persahabatan itu mulai rapuh.
Hingga pada suatu ketika ia tak lagi mendapatkan surat kedua sahabatnya. Namun dari kabar angin yang didapatkannya ia seakan tak percaya kalau kedua sahabatnya saling membunuh karena mereka menginginkan warisan yang telah mereka sepakati. Bahkan dari kabar angin itu kedua sahabatnya juga mempunyai maksud untuk membunuhnya. Akan tetapi mereka berdua terbunuh.
Tidak mudah untuk menguasai perasaannya yang galau saat itu. Hari-hari pertama merupakan siksaan batin baginya. Itulah saat-saat ia meragukan untuk mengambil warisan dari kedua sahabatnya. Ketika ia mengambil isi surat perjanjian, ia mencoba memikirkan sesuatu tentang warisan itu, ia berpikir antara mengambilnya atau memberikannya pada yayasan yatim piatu karena ia merasa segala kehidupannya telah tercukupi dan ia tidak perlu mengambil warisan yang hampir saja merusak nilai-nilai persahabatan.
Lalu ia meminta anak perempuannya untuk menghubungi pihak yang menjadi saksi dari perjanjian yang telah disetujui kedua sahabatnya. Mereka adalah beberapa warga yang seusia dengannya namun ada juga yang usianya lebih muda darinya, ia meminta mereka untuk datang kerumahnya tiga hari lagi. Ia juga meminta anaknya untuk mencari informasi dan menemui keluarga dari pihak kedua sahabatnya, ia menyuruh anaknya itu untuk meminta mereka menjadi saksi bahwa selama ini ada perjanjian yang tidak diketahui oleh mereka.
Keesokan harinya, saat mentari mulai meninggi ia mendengar suara pintunya diketuk. Begitu pintu terbuka, beberapa orang yang dengan mudah ia kenali sebagai saksi dari perjanjian itu, dan tiga pemuda yang tidak ia kenali. Akan tetapi ia merasa mereka bertiga yang tidak dikenalinya adalah keluarga dari ketiga sahabatnya. Lalu setelah ia berusaha menyalami satu-persatu secara hampir bersamaan ia memeluk ketiga pemuda itu, seperti ada gumpulan rindu yang hendak diledakkan di tubuhnya. Mereka tidak mengelak namun menerima semua itu tapi ada kata-kata yang membuat ketiganya heran. “Walaupun aku tidak bertemu dengan bapak kalian namun rasa rinduku seperti terobati”. Dan setelah itu ketiga baru sadar bahwa lelaki yang memeluk mereka adalah sahabat dari orang tua mereka. 
Lalu Ndut meminta mereka untuk duduk ditempat yang telah disiapkan. Ia menarik napas sejenak menghilangkan perasaan tidak percaya bahwa ia masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak dari kedua sahabatnya. Setelah ia dapat menguasai dirinya, ia pun mencoba untuk mengatakan maksud dan tujuannya meminta mereka datang kediamannya. ia menceritakan semuanya secara detail, hingga tidak ada satu pun yang tertinggal.
Hingga pada suatu ketika setelah Ndut menyelesaikan ceritanya, ketiga pemuda yang memang sudah dikenalinya bahwa mereka bertiga adalah anak-anak dari kedua sahabatnya seperti tidak percaya dari apa yang telah diceritakannya pada mereka. Akan tetapi setelah ia menyakinkan mereka beberapa kali, maka mereka pun percaya.
Lalu belum tuntas ia menceritakan semua yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu, salah satu pemuda menimpalinya dengan pertanyaan, “Lalu tujuan bapak meminta kami datang kesini untuk apa?, dan bukannya bapak yang berhak menerima warisan umur itu”
Pertanyaan itu seperti menyerang hulu hatinya. Ndut mencoba untuk melanjutkan kembali ceritanya yang dapat menjadi jawaban dari pertanyaan yang telah dilontarkan dari anak kandung yang menurut pengakuannya, ia adalah anak kandung dari sahabatnya yang usianya satu tahun lebih tua dari usianya, Jawa.
“Aku akan memberikan warisan itu pada yayasan yatim piatu, karena aku merasa merekalah yang berhak menerimanya walaupun sesuai perjanjian aku yang berhak mendapatkan warisan itu. Selain itu aku tahu, kedua orang tua kalian saling membunuh karena keserakahan telah menghapus rasa persahabatan dihati mreka, untuk itu aku tidak ingin setelah aku mendapatkan warisan umur itu maka rasa persahabatanku dengan kedua orang tua kalian hilang. ”setelah Ndut mengatakan kalimat itu, ada perasaan lega dihatinya.
Suasana tiba-tiba lengang. Hingga pemuda yang mengaku bahwa dirinya juga anak kandung dari Jawa, nampak bisa menerima keinginannya. Lalu satu persatu diantara mereka pun menyetujuinya tanpa sedikit pun menolaknya. Saat itu ada kepuasaan menyelinap didalam hati Ndut, karena ia tidak lagi merasa berat jika suatu saat ia pun menyusul ketiga sahabatnya. Setelah menuntaskan warisan umur itu, Ndut mengembuskan napas terakhirnya sesaat ia merasakan kepuasaan. Anak-anaknya, pihak-pihak yang menjadi saksi dari perjanjiannya, dan ketiga anak-anak dari kedua sahabatnya menghambur ke jenazahnya yang terlihat tersenyum. Kesedihan mereka segera menguar karena budi baiknya yang tidak mau menerima warisan umur itu yang seharusnya menjadi miliknya.
****
Buat kalian yang suka akan kisah-kisah masa lalu desa ini, aku sudah seharusnya menceritakan ini pada kalian. Karena kalianlah yang akan memiliki kesempatan untuk mengisahkan kepada anak-cucuku. Aku yakin keturunanku nanti akan merasa senang karena mereka mengetahui kenapa kampung mereka diberi nama kampung warisan. Dan saat itu mungkin aku telah meninggalkan kalian untuk selamanya. Maka, kalian harus menyimpannya dengan benar semua yang aku ceritakan pada kalian saat ini. kalian juga tidak boleh melebihkan atau mengurangi cerita ini, hanya itu pesanku kepada kalian yang suka akan kisah-kisah masa lalu desa ini.
                                                                                    Depok, Maret 2011
                                                                                    Syaif hakim

Aku yang tergila-gila dengan kamaku


Saat inilah aku menyesali kenapa aku meninggalkan rumah yang sejak kecil aku tempati. Di dalam rumah itu ada salah satu ruangan yang membuatku nyaman dan biasanya aku akan mengeram di sana berhari-hari kalau ide-ide memenuhi kepala. Kamar yang paling depan dengan suasana yang kotor, bau khas asap rokok yang tak sedap. Akan tetapi dengan aroma khasnya itu menjadikan aku tergila-gila pada kamarku.
Hari itu, aku sudah terlampau pindah rumah. Aku hanya bisa marah pada diriku sendiri kenapa harus meninggalkan rumah itu hanya untuk mendapatkan sesuatu yang berbeda dari kehidupan ini. Sebenarnya aku pindah rumah bukannya tidak ada alasan. Alasanku kenapa aku harus pindah rumah karena aku ingin mendapatkan suasana yang baru dan mungkin dengan suasana yang baru itu aku mampu menghasilkan tulisan-tulisan yang berbeda dari tulisan-tulisan yang aku hasilkan dirumah yang memiliki suasana yang kotor dengan bau khas asap rokok.
Hari pertama aku tinggal dirumah kontrakan perasaan tidak nyaman hadir begitu saja. Kadangkala aku ingin kembali ke rumah yang lama. Namun aku sudah terlanjur mengontrak di rumah kontrakan ini untuk satu tahun lamanya.  
Ketika hari telah beranjak sore. Matahari pun telah menggelinding ke sisi barat. Sementara bayanganpun semakin memanjang, mencoba bersembunyi dari tatapan nanar matahari. Di dalam rumah kontrakan itu aku masih terpaku menatapi seisi rumah yang tidak menghadirkan kenyamanan sama sekali.
Sepanjang minggu aku selalu menghabiskan hari-hari didalam kamar dengan berbagai macam ide yang hadir didalam kepala. Dan aku curahkan semua ide-ide yang hadir menjadi rangkaian kalimat yang tersusun rapih menjadi cerita. Namun entah kenapa aku tak pernah lagi menghasilkan cerita-cerita pendek. Terkadang aku merasa apa yang aku alami sekarang bukan duniaku yang sebenarnya. Ketika aku berdiam diri pada malam hari, aku merasa tidak ada satu ide pun yang hadir didalam kepala. Bahkan pengalaman-pengalaman yang aku dapatkan sejak tinggal di rumah kontrakan tidak dengan mudah aku ceritakan kembali.
Pada bulan pertama aku tinggal dirumah kontrakan aku tak menulis satu cerita pun. Aku duduk diam didalam kamar dengan satu pertanyaan didalam benakku, “Ada apa dengan diriku? Apakah aku telah berada dititik kejenuhan sehingga aku tidak dapat menulis cerita pendek?”
Aku menyendiri didalam kamar tanpa melakukan kegiatan apa pun. Lalu kusambangi rumah tetangga yang letaknya tidak jauh dari rumah kontrakan yang aku tempati. Di sana aku bermaksud mencari tema-tema yang menarik. Bahkan sering aku pergi ke taman kota untuk mencari inspirasi. Namun tetap saja aku tak mampu menulis satu cerita pun.
Pada bulan kedua dirumah kontrakan, aku mulai membaca kumpulan-kumpulan cerita pendek dari berbagai media masa, dengan cara itulah aku merefleksi kembali diriku pabila merasa jenuh dengan dunia kepunulisan yang aku geluti selama ini. Aku juga mulai menjelajahi toko-toko buku untuk membeli kumpulan cerpen atau novel-novel.
Bulan kedua ini aku sering membuka kembali folder-folder lama di laptopku atau membongkar kembali lemari buku, siapa tahu aku menemukan bahan bacaan. Barangkali setelah aku membaca kumpulan-kumpulan cerita pendek dari berbagai media masa dan bahan bacaan yang kusimpan didalam folder-folder lama atau di lemari buku, aku menemukan tema yang menarik untuk aku tulis menjadi cerita pendek.
Pada bulan ketiga aku mencoba menulis kembali, tetapi hanya mampu menghasilkan judul-judul yang kacau. Terkadang aku tak mampu membuat satu judul pun. Maka aku menghampiri meja di sudut ruang tengah. Meja dekat jendela kaca yang masih ditampar-tampar dedaunan rambutan. Aku duduk menyandar sebentar dikursi, lalu memandang layar komputer yang masih berupa bidang putih menyala. Namun tidak ada kemampuan untuk menulis kembali.
Lalu aku melihat keluar jendela, ke jalan yang selalu sibuk. Aku selalu tertegun melihat begitu banyak orang asing di lingkungan rumah kontrakan yang aku tempati.  Mimikku terlalu serius memperhatikaan orang-orang asing itu. Tanpa aku sadari sedetik, dua detik aku kembali terbayang-bayang dengan apa yang aku lakukan didalam kamarku yang pengap. Riwayatku dulu yang begitu banyak ide-ide dan tema-tema yang menarik untuk dijadikan sebagai cerita pendek.
Bayang-bayang kamar sebelum aku tinggal di rumah kontrakan selalu menghantui saat aku berusaha untuk menulis kembali. Aroma asap rokok, aroma badanku yang bercampur menjadi satu menciptakan aroma khas kamarku yang dulu. Semua itu menjadikan aku semakin tergila-gila dengan kamarku yang dulu.  
Hari demi hari berlalu. Banyak cerita luput dari kehidupan. Beberapa bulan aku mencoba menulis kembali. Dari dalam kamar kontrakan aku terus saja merokok hingga seluruh ruangan dipenuhi dengan asap rokok. Asap berkepul-kepul dari mulut, menipis hilang seperti kata-kata yang ingin kurangkai menjadi cerita yang tak berkesan untuk aku tulis dan hasilnya tetap saja sama, aku tidak mampu mendapatkan kembali riwayatku dulu yang begitu mudah mengarang satu cerita dalam satu malam.
Seketika aku tertegun sejenak. Timbul perasaan heran dalam hatiku. Sungguh aneh diriku sekarang ini, pikirku, bukan hanya aku tak lagi memiliki ide-ide yang menarik tapi aku sudah kehilangan arah untuk memulai cerita. Lalu aku nyalakan kembali rokok untuk kesekian kalinya. Sebentar kemudian berkepul-kepullah sudah asap dari mulutku. Sangat berbeda cara menghisapku kali ini dengan menghisapnya dalam-dalam, cara mengeluarkannya pun perlahan-lahan dengan berirama. Agaknya usaha kali ini pun gagal mendapatkan arah untuk memulai cerita.
  Aku semakin muram. Bahkan makin jarang meninggalkan rumah kontrakan. Namun tetap saja aku tak mampu menulis satu cerita pendek. Setiap malam aku berusaha untuk tetap terjaga, tapi aku tak tahu mengapa harus tetap terjaga. Apa mungkin bila aku tetap terjaga maka tanpa aku sadari aku kembali mendapatkan riwayatku dulu. Dan ketika aku merasa lelah, aku tertidur didepan layar laptop yang tetap menyala hingga menjelang pagi.
Ketika seorang sahabat lama yang lebih memilih menjadi seorang penulis puisi ingin mengujungi rumah kontrakan yang aku tempati sekarang ini. Aku menolaknya secara langsung karena sahabat lama yang lebih menyukai puisi dari pada cerpen, pasti selain melihat keadaanku, ia juga ingin mengetahui proses kreatifku yang selama ini menurutnya berbeda dengan proses kreatifnya. Maka melihat keadaanku yang sekarang, aku tidak ingin ia mengetahui apa yang aku alami.
Keesokan harinya sahabat lama yang telah bersahabat lebih dari sepuluh tahun telah mengetahui keadaan yang aku alami. Aku pernah mempertanyakan dari mana ia mengetahui keadaanku yang tak mampu menulis satu cerita pun. Akan tetapi ia tidak menjawabnya dan hanya mengatakan kalau ia merasa cemas dengan keadaanku yang tak mampu menulis satu cerita pun. Ia bilang, “Aku harus menolongmu keluar dari masalah yang kamu hadapi. Kamu sedang menghadapi kejenuhan. Mungkin rumah kontrakanmu tidak senyaman rumahmu yang dulu. Jika rumahmu kontrakanmu tidak senyaman rumahmu yang dulu, lebih baik kamu harus meninggalkan rumah kontrakanmu dan kembali ke rumah lamamu.”
Jadi sahabatku yang lebih memilih menjadi seorang penulis puisi memberi sarannya agar aku kembali ke rumah lamaku yang telah membuat aku tergila-gila dengan kamar yang bau dengan aroma asap rokok.
Suatu kali pada malam berikutnya, aku seperti mendengar suara-suara gaib untuk kembali ke rumahku yang salah satu dari kamarnya kotor dan bau. Saat itu aku tidak tahu suara gaib itu datang entah dari mana. Namun suara-suara gaib itu sangat jelas terdengar ditelinga. Suara gaib itu juga mengatakan pabila aku ingin kembali ke masa-masa riwayatku yang dulu, maka aku harus kembali ke rumah yang lama. 
Dua malam berikutnya, aku ingin menuruti suara gaib yang kudengar malam kemarin. Kalau bukan karena aku merasa rindu dengan aktivitas-aktivitas kamar itu, aku tidak akan menuruti perintah suara gaib yang sepertinya telah mencuci otakku untuk kembali ke rumah yang lama. Selain itu aku juga mulai rindu dengan bau tak sedap yang tercium dari kamarku yang nampak tak terawat setiap harinya, karena didalam kamar itu aku dengan mudah mendapatkan ide-ide yang menarik dan imajinasiku tak pernah terhalang apa pun.
Hari berikutnya aku langsung pergi ke rumah yang dulu. Tujuannya hanya satu, yaitu kamar yang dipenuhi ide-ide menarik. Sesampainya di sana, kamar yang sedari dulu hingga saat ini masih tetap sama. Saat pertama kali aku pindah ke rumah kontrakan. Suasananya tidak jauh berbeda. Betul-betul serupa. Kotor. Bau. Dan tentu saja...bau.Ya, tentu saja aku sangat menghafal dengan bau-bau khas asap rokok yang tak sedap langsung menguar menusuk ke dua lubang hidung saat aku membuka pintu kamar.
Kamar itu menghadap ke halaman depan. Dari dalam kamar aku bisa melihat jalanan lengang yang dilalui pedagang bubur ayam, roti, dan seluruh tetangga sekitar. Halaman sebelah kiri yang cukup lampang terisi sebuah pohon mangga besar yang aku tanam sendiri. Saat buah mangga itu matang aku makan bersama keluarga besar yang berkunjung ke rumahku satu tahun sekali setiap hari raya.
Sepanjang ingatanku, tak pernah aku merasa sesak saat duduk didalam kamar walau asap rokok memenuhi ruangan. Aku menulis berbagai macam tema. Biasanya saat mulai jenuh, aku keluar menikmati suasana sejuk duduk bersandar di bawah pohon. Sejak itu aku punya ritual baru saat kejenuhan merasuki pikiran.
Di dalam kamar yang selalu dipenuhi aroma asap rokok, aku menyimpan kebahagian yang luar biasa. Sebuah tempat tidur dan meja tulis mengisi salah satu sisinya. Aku akan mengeram di sana berhari-hari kalau ide-ide memenuhi kepala. Biasanya aku mengetik dengan laptop kesayangan yang selama ini dengan setia mempermudahkan aku untuk menyelesaikan ide-ide itu menjadi rankaian cerita pendek.  
Di dalam kamar yang pengap dari udara dan cahaya matahari aku terus saja menulis. Aku menulis sambil merokok. Enak merokok sambil menulis. Maka, setelah aku menghisap asap rokok hadirlah ide-ide itu berupa bayang-bayang hingga akhirnya aku merasa senang setelah membaca dan merevisi kembali cerita pendek yang telah kuakhiri ceritanya.
 Dari jendela kamarku yang bertirai merah jambu, aku selalu mengenang pertama kali mendapatkan ide-ide menarik lalu kutulis menjadi cerita pendek. Bahkn aku bercita-cita untuk menjadi seorang pengarang. Aku sering menulis cerita pendek. Tapi tak pernah sebagus Oka Rusmini, Wa Ode Wulan Ratna, Damhuri Muhammad. Aku tak peduli apakah cerita pendekku indah buat orang lain. Aku menulis cerita pendek agar ide-ide didalam rongga kepalaku bermanfaat untuk diriku sendiri. Hanya itu tujuanku sekarang ini.  
 Aku sudah melewati banyak hal didalam kamar ini dan aku ingin menghabiskan sisa hidup untuk tetap menulis dan menulis didalam kamarku. Lintasan peristiwa yang pernah aku lewati terulang kembali di benakku seperti sebuah putaran film yang akan kutulis menjadi cerita pendek. Seketika aku tersentak dan kaget menyadari bahwa cerita pendek yang aku tulis telah dipenhujung cerita. Kini aku memilih untuk tetap menulis didalam kamarku yang pengap dengan asap rokok. Walaupun banyak tempat yang menurut orang lain bagus untuk mendapatkan ide-ide yang menarik, tetapi tidak menurutku, karena tempat terbaik. Adalah berada didalam kamarku yang kotor dan bau dengan bau-bau khas asap rokok yang tak sedap.

                                                                                                Tanah Baru, 2011
                                                                                                Syaif hakim