Jumat, 25 Februari 2011

Mencari pendamping hidup


Beberapa hari ini aku selalu berpikir bahwa diriku tidak akan mempunyai pendamping hidup. Bahkan aku merasa kalau diri ini layaknya seseorang yang mempunyai penyakit yang suka terhadap sesama jenis. Namun seketika aku segera menghapus pemikiran jelek itu, karena aku yakin kalau keberadaanku hingga kini yang belum mempunyai pendamping hidup karena aku tidak seperti lainnya yang memberanikan diri untuk mengatakan bahwa aku suka kepada setiap seorang wanita yang pernah dekat denganku.
Tidak mudah untukku mengatakan suka kepada wanita yang pernah dekat dengaku. Sering kali aku menghabiskan waktu libur kerja, berlama-lama hingga senja merekah dengan wanita yang pernah dekat denganku. Bahkan sering kali setiap aku membawa wanita yang dekat denganku ke rumah orang tua, mereka sering mengira kalau wanita itu adalah pacar yang akan menjadi teman hidupku. Namun sesungguhnya hubungan aku dengan wanita itu hanya sebatas sahabat.
Selain itu sering kali aku merasa suka dengan salah satu wanita yang dekat denganku. Namun aku tidak mempunyai keberanian diri untuk mengatakan apa yang aku rasakan terhadapnya. Ada juga di antara wanita yang pernah dekat denganku bertanya mengapa aku tidak segera menembaknya kalau aku suka dengannya. Mereka juga bertanya mengapa aku bersifat dingin kepada mereka dan tidak pernah mengatakan kalau aku suka dengan mereka. Mungkin karena itu sampai saat ini aku tidak pernah mendapatkan calon pendamping hidup.
Sebenarnya aku merasa malu dengan sahabat yang seusiaku atau dengan yang lebih muda dariku saat menghadiri pesta pernikahan salah satu dari sahabat kami. Mereka datang dengan para istri dan suami mereka. Namun aku hanya datang seorang diri tanpa membawa wanita yang akan menjadi pendamping hidupku. Mereka pun banyak yang bertanya-tanya mengapa sampai usiaku yang telah menginjak dua puluh delapan tahun belum juga memiliki istri atau pendamping hidup. Ada juga sebagian dari mereka yang bertanya tentang para wanita yang pernah dekat denganku, siapakah mereka yang telah kuperkenalkan kepada mereka. Aku menjawabnya dengan santai bahwa mereka hanya sebagai sahabat.
Selagi aku termenung-menung sendiri di dalam kamar, aku tersentak ketika tiba-tiba adikku membawakan kopi panas yang beberapa menit yang lalu aku meminta agar di buatkan kopi kesukaanku, kopi hitam ke coklat-coklatan. Aku bersyukur masih mempunyai adik yang perhatian terhadap kakaknya, dan tidak pernah membantah apa pun yang aku katakan padanya. Selain itu aku juga berharap kopi panas yang di sediakan adikku dapat menghilangkan rasa kantuk setelah seharian bergelut dengan perkerjaan yang hampir membuatku jenuh.
Aroma khas kopi hitam ke coklat-coklatan menguar, uap panasnya mengepul-ngepul menggelitik indra penciumanku. Lalu aku mengangkat cangkir, menyeruput kopi panas itu, rasa pahit manis yang kurasakan menggeletarkan lidahku. Seluruh syarat tubuhku kembali terasa nyaman setelah menyeruput kopi buatan adikku itu. Rasa kopi itu menyenangkan dan menenangkan hatiku.
Saat aku menikmati kopi panas yang telah membuatku merasa nyaman mengingatkan aku kepada kenangan pertama kali aku mengemari kopi hitam ke coklat-coklatan. Waktu aku pertama kali menikmati kopi, saat usiaku masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ketika itu aku sedang berkunjung ke rumah seorang teman wanita yang satu kelas denganku namun persahabatan kami tidak terlalu dekat, aku ingat namanya Yayat Nurhayati. Kedatanganku ke rumahnya bersama teman-teman yang lain untuk menyelesaikan perkerjaan rumah yang harus di selesaikan secara berkelompok. 
Saat Yayat menawarkan minuman padaku dan seluruh teman-teman yang lain, salah seorang temanku yang bernama Ismail menjawabnya dengan meminta padanya kopi manis panas saja. Ketika ia menawarkan untuk kesekian kalinya padaku, saat itu aku hanya menyamakan saja sesuai dengan minuman yang di minta oleh Ismail, yakni kopi panas. Sebenarnya aku belum pernah meminum kopi, akan tetapi karena aku merasa takut merepotkannya. Maka aku memintanya agar menyamakan saja sesuai dengan minuman yang di minta oleh sahabatku yang bernama Ismail.
Lantas pembantunya keluar dari dapur, membawakan minuman untuk kami. Namun di antara minuman yang di bawakan oleh pembantu itu, hanya minumanku saja yang masih tertinggal di meja dapur. Pembantu itu mengatakan kalau nampan yang di pakai untuk membawa minuman itu tidak mampu membawa terlalu banyak minuman. Oleh karena itu minumanku tertinggal di meja dapur. Seketika Yayat pun keluar dan membawakan minuman untukku. Ia tersenyum padaku. Senyuman dengan tarikan bibir yang lebar, namun tak sepenuhnya terbuka. Sehingga terkesan senyuman nakal yang penuh arti.
*****
Aku dan Yayat teman teman satu kelas. Tempat duduk kami hanya di batasi hijab yang memisahkan murid lelaki dengan murid perempuan. Setiap hari kami selalu belajar dengan materi pelajaran yang sama. Namun kedekatan di antara kami hanya sebagai teman sekelas. Saat aku baru kali pertama menikmati secangkir kopi panas dirumahnya, saat itulah mulai ada kedekatan diantara kami.
Yayat, adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Ia anak perempuan satu-satunya didalam keluarganya. Setelah kejadian belajar kelompok dirumahnya, persahabatan kami pun saling mengenal lebih dalam. Hobi kami membaca novel atau kumpulan cerita pendek. Sepulang sekolah kami sering membaca novel atau cerita pendek yang sengaja kami bawa dari rumah untuk kami baca ditaman kota. Dari taman kota, kami bisa melihat hamparan aneka bungga-bungga. Kota kecil yang indah dan damai, dengan taman kota yang membelah riuh kendaraan setiap harinya.
Aku dan Yayat bisa menghabiskan waktu berlama-lama hingga senja merekah. Kami duduk-duduk dihamparan rumput sambil membaca novel atau cerita pendek yang kami punya. Dan tidak jarang diantara kami saling bertukar bacaan yang kami miliki.
Yayat adalah tipe wanita yang periang, tidak seperti aku yang pemurung. Entah mengapa mereka yang melihatku mengatakan kalau wajahku murung. Padahal aku tidak sedang bersedih disaat punya masalah dengan siapa pun. Mungkin karena wajahku murung karena aku tidak pernah memperlihatkan ekspresi wajah yang berbeda apabila mengalami sesuatu hal yang tertentu.
Teman-temanku sering menggoda kami kalau diantara kami sudah menjalin suatu hubungan yang lebih dari sekedar persahabatan. Tentu saja, ketika aku dan Yayat semakin akrab, banyak yang mengatakan kalau kami berpacaran. Namun saat itu aku langsung mengatakan kalau aku memiliki perasaan apa pun terhadap Yayat yang sering dibicarakan seluruh teman-teman kami.
Dari hari kehari hubungan persahabatan kami pun semakin dekat. Dan aku tidak tahu mengapa diriku sangat perhatian padanya. Aku selalu memperhatikan setiap tingkah laku atau hanya sekedar memperhatikan kesehatannya. Tidak jarang aku memberi pujian kalau Yayat berpakaian menarik atau memakai minyak wangi yang aku suka harumnya. Begitupun sebaliknya, Yayat sering memuji penampilanku kalau aku berpenampilan yang disukainya.
Lalu sampai suatu hari muncul perasaan yang aneh didalam hatiku ketika melihat Yayat jalan dengan teman pria yang masih satu kelas dengan kami. Hari itu matahari terasa sangat dekat di ubun-ubun kepala, aku pun tidak tahu apakah cahaya matahari itu berpengaruh terhadap rasa amarahku yang sedikit bergejolak, atau memang perasaan ini apa adanya yang aku rasakan terhadap situasi yang telah membuat hatiku terasa aneh seperti ini. Namun aku tidak mau menjawab sendiri apa yang aku rasakan yang sebenarnya.
Sepulang dari sekolah aku merasa enggan untuk pergi ke taman kota untuk menghabiskan waktu dengan kumpulan cerita pendek yang baru saja kupinjam darinya. “Mungkin ini karena perasaan cemburuku”. Suara hatiku menjawab sendiri tanpa aku pinta. Seketika aku merasa mungkinkah apa yang dikatakan hatiku ini benar? Apakah aku suka padanya ?, pertanyaan dan cuaca mendung kini menjadi teman dalam perjalanan menuju rumah.
Sesampainya di rumah aku melepas sepatu dan segera menaruhnya di tumpukkan sepatu yang tersusun rapih di rak sepatu dekat dengan lemari kecil tempat Ayah menyimpan beraneka barang yang mungkin menurut Ibu, adik serta diriku tidak berguna lagi. Namun baginya barang itu suatu saat dapat di pergunakan.
Sejurus kemudian aku menuju dapur untuk membuatkan teh manis hangat. Tak beberapa lama teh manis pun siap untuk di minum. Ketika aku ingin menikmati teh manis itu dengan cuaca mendung di luar rumah. Hujan pun mulai turun. Pohon di sekitar rumah pun terlihat segar saat di guyur hujan yang cukup deras. Seketika aku kembali teringat dengan pertanyaan tentang perasaan hatiku terhadap Yayat selama ini. Aku mencoba untuk menjawabnya sendiri dan merasakan yang sesungguhnya tentang perasaanku terhadapnya. “ Kamu itu suka kapadanya, ayolah jujur pada perasaanmu sendiri”. Saat itu aku kembali mendengar suara hati yang mencoba menjawa apa yang aku rasakan yang sebenarnya terhadap Yayat yang selama ini selalu menemani dan menghabiskan waktu sepulang sekolah hanya untuk membaca kumpulan cerita pendek atau novel-novel yang sengaja kami bawa dari rumah untuk di baca di taman kota.
Tentu saja setelah aku mencoba berpikir tentang suara hatiku yang saat itu mengatakan kalau aku suka kepadanya, aku tidak dapat membatahnya. Ternyata suara hati itu membawa diriku untuk mengatakan yang sesungguhnya kepada Yayat secara langsung. Sore itu hampir mendekati malam, hujan semakin deras menguyur komplek perumahan yang menjadi tempat tinggalku. Udara sore itu sangat dingin, terasa sampai menusuk tulang. Aku pun istirahat untuk menyambut datangnya pagi.
Keesokan harinya, waktu istirahat aku mencoba untuk merasa yakin dengan keputusanku untuk mengatakan yang sebenarnya tentang perasaanku yang sesungguh kepada Yayat dengan cara yang tidak seromantis di sinetron-sinetron yang sering kulihat saat Ibu dan adikku menonton televisi. Tentu napasku tersengal-sengal saat di hadapannya. Ketika irama degup jantungku mulai teratur. Aku meraih tangannya dan memberi senyuman yang berarti bahwa aku akan melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Aku menatap mata Yayat dalam-dalam, dan ia membalasnya dengan senyuman. Saat itu aku segera mengutarakan isi hatiku padanya. Ternyata apa yang aku harapkan darinya tidak pernah kukira sebelumnya, dan ia menolakku yang mungkin menjadikan hatiku untuk beberapa hari ini terasa hancur. Sejak saat itu aku tidak pernah melakukan hal yang sama kepada wanita mana pun walau aku menaruh perasaan suka.
******
Ayam berkokok panjang, tak lama suara adzan subuh sayup-sayup terdengar di telingga. Aku pun tersentak dari lamunan masa lalu yang telah kembali terputar dalam memory ingatanku beberapa tahun yang lalu. Tidak beberapa lama aku pun mengucap syukur walau terlambat namun tidak menjadikanku lupa akan karunia kesehatan yang di berikan-Nya untukku. Langit pun masih menampakkan warna mendung. Namun tidak menjadikan pemandangan pagi itu tidak indah bagi setiap makhluk yang melihatnya secara langsung.
Jarum jam menunjukkan pukul 04.20, aku merasa pagi itu terlalu pagi untuk memulai aktivitas. Aku ingin menikmati suasana pagi itu di teras kamar dengan duduk santai di atas kursi kayu yang beberapa tahun belakangan ini menjadi teman kesendirianku ketika malam minggu datang menjemput para pria untuk mendatangi wanita pujaan hatinya. Namun tidak untukku yang hanya menyesali sikapku yang tidak berani mengatakan perasaaanku terhadap wanita yang aku sukai.
Selagi aku termenung menikmati suasana pagi, aku tersentak ketika ibuku membuka pintu kamar yang memang tidak terkunci. Ia mengatakan bahwa apa yang aku alami beberapa tahun yang lalu tidak perlu menyesalinya dan tetap merasa yakin kalau aku akan mendapatkan seorang pendamping hidup yang selama ini selalu di harapkan. Ia juga mengatakan kalau aku tidak perlu merasa takut bahkan tidak berani karena nanti di tolak setelah mengutarakan isi hati terhadap wanita yang aku sukai. Akan tetapi aku sendiri tidak tahu apakah nasehat itu berpengaruh untukku hingga mendapatkan pendamping hidup.


                                                                                    Syaif hakim
                                                                                    Depok, 30 Desember 2010

Rabu, 23 Februari 2011

Mangkuk malam


Abu senja melayang, menyalut mangkuk malam yang telah berpaling dari kehidupanku, ia acap kali mengeluarkan kata-kata jenaka dan keraguan demi keraguan menyelinap dalam pikiran dan akan bersarang. Lalu pabila kita ingin memulainya dengan kepastian, kita akan berakhir dalam keberhasilan.

Menghamba


Ketika semua memuji-Mu dan menghadapkan muka mereka kepada-Mu,
aku akan masuk ke dalam perseteruan yang tak akan usai.