Senin, 26 Maret 2012

HAI, Ma!

WS. Rendra
Ma!
Bukan maut yang menggetarkan hatiku.
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya
dan kehilangan fitrahnya.


Ada malam-malam
aku menjalani lorong panjang
tanpa tujuan ke mana-mana.
Hawa dingin
masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada.
Bintang-bintang
menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan
kehadiran kegelapan.
Tidak ada pikiran.
Tidak ada perasaan.
Tidak ada suatu apa.


Hidup memang fana, Ma!
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada.


Kadang-kadang
aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi ayah bunda
dan ditolak para tetangga.
Atau aku terlantar di pasar.
Aku berbicara
tetapi orang-orang tidak mendengar.
Mereka merobek-robek buku
dan menertawakan cita-cita.
Aku marah. Aku takut.
Aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa.


Hidup memang fana, Ma!
Itu gampang aku terima.
Tetapi duduk memeluk lutut
sendirian di savana.
Membuat hidup tak ada harganya.


Kadang-kadang
aku merasa ditarik-tarik orang
ke sana kemari.
Mulut berbusa
sekedar karena tertawa.
Hidup cemar
oleh basa-basi.
Dan orang-orang mengisi waktu
dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan.
Atau percintaan tanpa asmara.
Dan sanggama yang tidak selesai.


Hidup memang fana.
Tentu saja, ma!
Tetapi akrobat pemikiran
dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit
sambil tak tahu kenapa.


Rasanya
setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan
di dalam hidup ini.
Tetapi, Ma,
setiap kali menyadari
adanya kamu dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah
di sekujur tubuhku.
Kelenjar-kelenjarku bekerja.
Sukmaku menyanyi.
Dunia hadir.
Cicak di tembok berbunyi.
Tukang kebun kedengaran berbicara
kepada putranya.


Hidup menjadi nyata.
Fitrahku kembali.
Mengingat kamu, Ma,
adalah mengingat kewajiban sehari-hari,
kesederhanaan bahasa prosa,
keindahan isi puisi.
Kita selalu asyik bertukar pikiran, ya, ma!
Masing pihak punya cita-cita.
Masing pihak punya kewajiban yang nyata.


Hai, Ma!
Apakah kamu ingat:
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit
dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu?
(Massya Allah!
Aku selalu kesengsam
pada bau kulitmu!)
Ingatkah? Waktu itu aku berkata:
"Kiamat boleh tiba.
Hidupku penuh makna."
Wah, aku memang tidak rugi
ketemu kamu di hidup ini.
Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa
bahwa kemarin dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan
sama saja.
Langit di luar
langit di badan
bersatu dalam jiwa.

Sudah, ya, Ma!

Untuk Mamaku tercinta

WS.Rendra
Mama yang tercinta
Akhirnya kutemukan juga jodohku
Seseorang bagai kau
Sederhana dalam tingkah dan bicara
Serta sangat menyayangiku
Mama
Burung dara jantan nakal yang sejak dulu kau pelihara
Kini terbang dan menemui jodohnya
Mama
Aku telah menemukan jodohku
Janganlah engkau cemburu
Hendaklah hatimu yang baik itu mengerti
Pada waktunya
Aku mesti kau lepas pergi