Senin, 19 September 2011

Bubur Ayam


Mulanya aku tak bermaksud menulis cerita ini yang menceritakan sosok penjual bubur ayam. Tetapi setelah kupikir-pikir mungkin cerita ini bermanfaat untuk tetap melestarikan bubur ayam sebagai menu sarapan pagi yang disukai banyak orang. Selain itu aku berharap setelah aku rampungkan ceritanya, aku dapat mengingat kembali pesan-pesan yang disampaikan penjual bubur ayam dan aku dengan mudah dapat menziarahi kuburan penjual bubur ayam saat aku membaca kembali cerita ini tanpa harus menziarahinya secara langsung, karena batu nisan penjual bubur ayam itu berada dikampung halamannya yang mungkin membutuhkan waktu dua hari untuk sampai disana.
Dan setelah aku menyelesaikan sebagian cerita. Beruntung aku mendapatkan komentar-komentar yang baik dari teman-teman yang telah membaca cerita ini untuk pertama kali. Dari komentar-komentar itu, mereka semua memintaku untuk segera menyelesaikan ceritanya. Tersebab menurut mereka cerita yang aku tulis ini sangat menarik dan sebagai media untuk mengingat kembali sikap baik penjual bubur ayam yang usianya lebih dari setengah abab. Aku pun hanya mengangguk-anggukkan kepala. Berkat dorongan komentar-komentar yang aku dapatkan maka akhirnya cerita ini dapat aku selesaikan.
Inilah ceritanya............
Di antara berjejalnya rumah-rumah begitu penuh sesak, ada yang mencuat. Adalah sebuah aroma sedap yang tercium dari dapur salah satu rumah. Itulah aroma sedap dari racikan khas bumbu bubur ayam.
Malam sudah hampir berganti hari. Beberapa ratus meter dari perumahan Tugu Baru, di muka gang kecil terpampang papan mungil bertuliskan “Bubur Ayam Mas Putra”. Inilah makanan kegemaranku sejak kecil, saat menjelang waktu sarapan pagi maupun ketika malam hari untuk mengisi perut yang terasa lapar.
Bubur ayam Mas Putra termasuk bubur legendaris di kampungku. Usaha bubur ayam itu dirintis sejak era 1961 olehnya. Dari raut wajah penjual bubur ayam itu sebenarnya menandakan kalau usianya tidak jauh berbeda dengan usia bubur ayamnya yang kurang lebih setengah abab. Namun ia meminta para pembelinya untuk tetap memanggilnya, Mas Putra.   
Menyantap hangatnya bubur ayam yang berusia lebih dari setengah abab itu, aku merasa bisa menikmati sejarah kampung yang belum aku ketahui. Betapa tidak, predikat sejarah bubur ayam Mas Putra bagai menghadirkan cerita-cerita tentang sebuah masa silam  mengenai perubahan-perubahan yang pernah terjadi dikampung Tugu Baru hingga saat ini.
Selain itu semua orang dikampung Tugu Baru ini tahu kalau bubur ayam Mas Putra paling nikmat dan enak. Tak ada yang dapat mentandinginya. Jika orang-orang dijaman sekarang menikmati sarapan pagi dengan roti-roti beraneka selai didalamnya, aku dan seluruh warga kampung hingga orang-orang yang menempati perumahan Tugu Baru tetap menikmati bubur ayam dengan bumbu-bumbu yang memiliki kekhasan yang tersaji saat menikmati bubur-bubur ayam saat sarapan pagi.
Orang-orang tak pernah melupakan sarapan-sarapan pagi yang terasa sangat nikmat. Bubur ayam Mas Putra salah satunya. Kalau untuk minuman hangat temannya bubur ayam, orang-orang akan diingatkan dengan kopi yang dijajakan Teteh Indri, ia adalah istri yang setia menemani Mas Putra saat senang maupun sulit.
Bubur ayam Mas Putra selalu ramai. Sebelum aku berangkat kerja selalu menyempatkan waktu untuk sarapan pagi dengan bubur ayam yang berusia lebih dari setengah abab itu. Berdesak-desakkan dengan pembeli yang lain. Sering kali aku mengalah dengan anak sekolah yang memakai seragam yang selalu didahulukannya. “Tunggulah sebentar, kamu pasti mendapatkan jatahmu.” Begitu komentar Mas Putra saat aku mulai memprotes karena terlalu lama menunggu,”Ingat, dulu kamu sama seperti anak-anak sekolah, pernah didahulukan.” Seketika aku menyerah begitu saja tanpa menunjukkan raut wajah yang nampak kesal karena Mas Putra mendahulukan anak-anak sekolah.
“Baiklah Mas, aku mengalah. Tapi aku minta sesuatu dari Mas Putra”
“Maksudmu?” Mas Putra balik bertanya kepadaku
“Aku harap Mas Putra bersedia menceritakan sejarah kampung ini yang belum aku ketahui.”Jawabku dengan santai
“Kenapa kamu tidak tanya langsung ke dua orang tuamu?, sepengetahuanku orang tuamu tahu lebih banyak mengenai kampung ini.”
“Apa yang Mas Putra katakan itu benar, tapi aku ingin mendengarnya dari Mas Malik,”Kataku padanya
Lalu setelah aku terus mendesaknya agar ia bersedia menceritakan sejarah kampung yang belum aku ketahui, akhirnya ia pun menjawabnya dengan lantang dan penuh semangat, “Baiklah, aku bersedia menceritakan semuanya. Tapi hanya yang aku ketahui”
“Tak menjadi masalah, yang terpenting Mas Putra bersedia. Lalu kapan Mas Putra punya waktu lenggang?”Tanyaku mengenai kesiapannya untuk menentukan kapan ia bisa menceritakan sejarah kampungku ini.
“Besok datanglah ke masjid saat waktu shalat subuh tiba, aku akan menceritakan apa yang aku ketahui,”Jawabnya mengakhiri perbincangan kami berdua.
****
Mentari pagi diufuk timur mulai menyapa. Seperti biasa aku yang pertama kali bangun pagi seperti orang linglung. Lalu yang pertama kali aku lihat. Adalah jam dinding yang letaknya disamping lemari pakaian. Sebenarnya jam dinding termasuk salah satu yang tak begitu aku sukai. Tapi begitu penting buatku agar tidak lupa akan waktu dari aktivitasku didalam kamar. 
Bergegas aku berbenah diri. Berharap dapat bertemu Mas Putra lebih cepat dan mendengar ceritanya tentang sejarah kampung yang belum aku ketahui. Lalu pada pagi yang dingin seperti itu aku tidak mampu menahan dinginnya udara pagi. Maka didalam pikiranku ingin membatalkan niat untuk sholat berjamaah dan mendengar ceritan Mas Putra tentang sejarah kampung. Namun aku tak punya pilihan karena sudah memiliki janji dengannya, untuk itu aku harus menepati janjiku kepadanya.
Pagi-pagi tak terlalu banyak orang-orang berdatangan ke masjid untuk sholat subuh berjamaah. Mungkin kurang dari semperempat warga yang rela bangun pagi-pagi. Tentu aku tidak mempersalahkan mereka yang tidak sholat berjamaah dimasjid. Dan tentunya para jemaah yang lain tidak mempersalahkan mereka.
Waktu shalat subuh tiba, masjid satu-satunya yang berada di kampung ini mengumandangkan azan, aku masih merapihkan kamar. Kemudian masjid itu mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat berjamaah. Aku jadi terburu-buru datang ke masjid. Begitu sampai masjid, aku langsung menempati tempat yang kosong pada saf terdepan. Saat aku melihat ke samping kiriku, seorang lelaki tua yang sepertinya aku mengenalinya, Mas Putra. Ternyata ia telah lebih dulu datang ke masjid. Aku pun jadi malu padanya, karena seharusnya aku lebih dulu datang ke masjid dari pada dirinya yang usianya lebih tua dari usiaku.
Selesai shalat berjamaah, tampak orang-orang satu per satu beringsut meninggalkan masjid. Akan tetapi sebagian dari mereka merubung Mas Putra, mereka kedengarannya seperti menanyakan apakah ia akan berjualan hari ini. Setelah sebagian mereka pulang ke rumah masing-masing, aku segera menghampirinya.
Di awal pembicaraan kami hanya sebatas mempertanyakan kabar masing-masing. Hingga ia membuka topik pembicaraan mengenai permintaanku kemarin pagi saat menunggu bubur ayam yang aku pesan.
Lalu dengan rinci dia menceritakan semuanya tanpa tergesa. Pada awalnya aku bertanya-tanya: kapan ia pertama kali berjualan bubur ayam dikampung ini. Tapi kemudian aku jadi penasaran karena setelah Mas Putra menceritakan kehidupan pemuda sepertiku empat puluh tahun yang lalu. Aku sangat terkejut karena pemuda-pemuda pada zaman itu begitu banyak pemuda yang cinta dengan shalat berjamaah di masjid, bahkan tampak pemuda-pemuda berdesak-desakan dengan jamaah yang lebih tua dari mereka. Pemuda-pemuda itu seakan-akan tidak mau kalah memenuhi setiap saf ruang utama masjid.
 Sungguh seperti ada rindu yang terlihat dari raut wajahnya, yaitu rindu melihat pemuda-pemuda di zaman sekarang yang sudah jauh berbeda dengan pemuda di zamannya dulu. Setelah ia menyelesaikan cerita mengenai kerinduannya akan pemuda-pemuda yang tampak begitu semangat shalat berjamaah, ia meminta komentarku mengenai hal ini. Aku pun hanya diam membisu tidak bisa menjawab karena ceritanya dan pertanyaan itu seolah-olah menengurku secara tidak langsung. Dan Mas Putra hanya tersenyum melihatku yang tidak bisa berkomentar mengenai ceritanya.
Beberapa menit berlalu, aku hanya diam tanpa bisa berkomentar mengenai cerita tentang pemuda pada zaman dulu yang selalu bersemangat shalat berjamaah. Ingin kuakhiri perbincangan ini, akan tetapi aku melihat gelagat Mas Putra masih sangat antusias menceritakan sejarah kampung yang belum aku ketahui. Ia bercerita sudah hampir satu setengah jam lamanya. Terkadang aku merasa cukup dengan cerita-ceritanya. Lalu entah kenapa tiba-tiba aku kembali tertarik dengan ceritanya mengenai hidup bersosial antar warga dikampung ini.
Menurut ceritanya para warga pada zamannya berbeda dengan para warga pada zaman sekarang ini. Pada awalnya aku bertanya-tanya perbedaan yang ia maksud, tapi kemudian aku merasa tersindir untuk kedua kalinya setelah mendengar ceritanya . Dengan mantap ia katakan kalau masyarakat pada zaman sekarang dikampung ini seperti memiliki dinding pembatas. Dinding pembatas yang ia maksud antara masyarakat perumahan mewah Tugu Baru dengan masyarakat diluar perumahan mewah itu.
Mas Putra menuturkan kalau pada zamannya tatkala didapati seorang warganya pergi direnggut maut maka para warga yang lain berbondong-bondong berdatangan ke rumah sahibul musibah untuk membantu meringankan duka tersebut dengan berbagai macam cara. Namun sekarang semua itu seperti ada pembatas, maka sering kali tatkala didapati seorang warga yang tinggal didalam perumahan mewah itu direnggut maut, para warga yang tidak tinggal diperumahan itu seolah-olah tidak ingin ikut campur dan membantu meringankan duka sahibul musibah, begitu pun sebaliknya.
Aku jadi heran sendiri mendengar ceritanya. Bahkan apa yang ia ceritakan seperti menusuk hulu hati. Betapa aku sangat terenyuh mendengar ceritanya, aku pun tidak menyangkal bahwa apa yang ia ceritakan benar adanya. Sungguh baru kali ini aku mengalami ada yang menyindirku secara halus dan sangat menusuk hulu hati, bahkan aku merasa malu dan merasa seperti orang linglung yang tidak tahu apa yang harus aku perbuat dan tiada henti sebanyak mungkin aku melafalkan istighfar: Astaghfirullah.
Seketika Mas Putra mengakhiri ceritanya saat istrinya menjemputnya untuk segera pulang karena istrinya dan ke dua anaknya yang seusia denganku merasa kerepotan melayani para pembeli yang telah ramai merubung warung bubur ayam miliknya. Maka Mas Putra tidak bisa menceritakan apa-apa lagi mengenai cerita masa lalu. Di akhir pembicaraan ia menitipkan pesan padaku agar selalu mengingat ceritanya dan dijadikan sebagai pelajaran.   
****
Pada suatu malam gerimis, kusambangi rumah penjual bubur ayam yang berusia lebih setengah abab itu. Beberapa meter dari perumahan Tugu Baru terdengar pengeras suara yang berasal dari toa masjid yang menyampaikan berita duka: “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, telah meninggal duni Bapak Putra Surjoyana yang bertempat tinggal RT. 12, RW. 13..........”
Aku sontak mendengarnya dan turut menyebut: “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun”. Namun saat itu aku masih bertanya-tanya seolah-olah tidak mempercayai berita yang kudengar secara langsung. Tapi kemudian aku pun turut berduka dan sangat merasa kehilangan sosok penjual bubur ayam yang menjadi bukti bahwa bubur ayam telah menjadi bagian dari kehidupan kampungku. Bubur ayam dikonsumsi seluruh kalangan dan tidak mengenal dia tinggal diperumahan mewah atau tidak, dari orang-orang yang sudah berumur sampai anak balita dikampung-kampung ikut serta mengemari makanan khas yang bisa dinikmati saat pagi maupun malam hari.
Saat itu aku kembali teringat akan pesan terakhirnya yang menurutku sangat bermanfaat dan dapat dijadikan pelajaran bahwa tradisi-tradisi pada zaman terdahulu jangan dihilangkan bahkan dilupakan dalam kehidupan sehari-hari.
Sungguh dalam hati aku berjanji untuk memperbaiki segala kesalahan yang selama ini aku perbuat diantaranya, malas shalat berjamaah dimasjid dan tidak pernah meluangkan waktu untuk bersosialisasi dengan warga yang tinggal diperumahan Tugu baru itu. Aku berjanji.
                                                                                    Syaif hakim
                                                                                    Tanah baru, Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar