Senin, 19 September 2011

Imam


Ramadhan hari ke sebelas pertama kali aku menginjakkan kaki di Desa ini. Aku menganggap desa ini seperti desa kelahiranku karena terdapat banyak kesamaan. Pada malam hari di bulan Ramadhan, warga desa berduyun-duyun datang ke Masjid untuk melaksanakan sholat taraweh. Setelah itu di lanjutkan dengan bertadarus bersama-sama hingga menjelang pagi.
Aku semakin senang ketika mengetahui bahwa tempat kosku yang baru di pemukiman yang padat penduduk itu tidak terlalu jauh dengan Masjid yang tampak berdiri gagah. Masjid itu bernama Masjid An-nur, aku mengetahui nama masjid itu dari lelaki tua yang memberi petunjuk bahwa tempat kosku tidak jauh dari masjid. Saat aku memperkenalkan diri, lelaki tua itu memperkenalkan dirinya sebagai Imam di masjid tersebut, itu pun setelah kudesak-desak karena aku sebagai warga baru ingin menjalin tali silahturahmi dan melakukan pendekatan dengan dirinya dan warga yang lain, karena pasti aku membutuhkan bantuan mereka. Benar saja ketika aku hendak memasukan barang bawaan yang masih tertinggal di teras rumah, warga setempat menawarkan bantuan untuk mempermudah memasukan barang bawaanku yang sepertinya tidak mungkin aku selesaikan sendiri.
Pada awalnya mereka bertanya-tanya mengenai identitasku. Dengan mantap aku menjawab pertanyaan mereka. Tapi kemudian aku pun mempertanyakan dari mana mereka mengetahui bahwa aku warga baru, betapa aku sangat terkejut ternyata mereka mendapatkan informasi dari salah salah seorang warga yang sangat mereka hormati. Mereka menghormati dirinya bukan karena ia berprofesi sebagai Imam, akan tetapi mereka menghormatinya karena ilmu agama yang dimilikinya. Namun ada sisi negatif yang sepertinya membuat mereka sedikit membencinya. Adapun sisi negatif itu karena saat ia menjadi Imam, pasti mereka tidak akan khusyuk menjalankan shalat berjama’ah.
Aku yang penasaran akan cerita mereka berniat untuk mempertanyakannya secara jelas. Namun aku mengurungkan niatku karena merasa tidak sepatutnya sebagai warga baru mengetahui semua yang terjadi di desa ini. Maka untuk itu aku menyimpan rasa penasaranku walaupun sebenarnya tidak mudah untuk menyimpan rasa penasaran itu.
***
Ketika waktu sholat isya tiba, masjid itu mengumandangkan azan, aku segera menunda rasa laparku setelah seharian berpuasa. Seolah mengiringi takbir alam di malam itu, bibirku bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan tenang aku melangkahkan kedua kakiku meninggalkan kamar kos yang masih lengang. Sampai di masjid aku segera menuju saf terdepan. Sambil menunggu iqamat dikumandangkan aku shalat Tahiyatul Masjid. Lalu berdzikir yang menjadikan hati dan pikiranku terasa sejuk.
Satu-satu persatu orang-orang berdatangan memenuhi ruang utama masjid yang dipenuhi dengan anak laki-laki, remaja putra, dan Bapak-bapak. Sedangkan di lantai atas dipenuhi anak perempuan, remaja putri, dan Ibu-ibu. Kemudian salah seorang warga mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat berjamaah. Ketika aku telah siap shalat berjamaah, aku terkejut ternyata yang akan menjadi Imam adalah lelaki tua yang pernah memberi petunjuk bahwa tempat tinggalku tidak jauh dari masjid.
Lelaki tua itu sudah berdiri di atas sajadah dalam mihrab masjid. Aku sudah tak sabar untuk segera shalat berjamaah dan mendengar lantunan ayat Alquran dari mulut Haji Anwar—begitu ia dipanggil orang sekampung.
Saat Haji Anwar ingin memulai shalat berjamaah. Aku mendengar suara deheman yang berasal dari saf belakang yang sepertinya mereka merasa keberatan pabila shalat berjamaah kali ini diimami olehnya. Bahkan bisa dibilang riuh. Akan tetapi Haji Anwar tetap memulai shalatnya tanpa memperdulikan situasi yang sedang terjadi saat itu. Lalu shalat pun berjalan sebagaimana mestinya.
Pada rakaat pertama Haji Anwar membaca surat Al’ Alaq. Aku larut dalam penghayatan. Bacaannya terdengar begitu fasih membuatku hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibacanya. Hati dan pikiranku terbetot dalam tadabbur yang dalam. Orang-orang yang berada di saf terdepan sepertinya merasakan hal yang sama. Mereka pun hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang dibaca Haji Anwar. Namun sebagian jamaah yang berada di saf belakang sepertinya mereka tidak khusyuk dalam menjalankan shalat berjamaah.
Selesai shalat isya dan taraweh berjamaah, tampak orang-orang satu per satu beringsut meninggalkan masjid. Akan tetapi sebagian dari mereka merubung Haji Anwar, mereka menyalami dan mencium tangannya dengan penuh penghormatan. Setelah itu sebagian mereka pulang ke rumah masing-masing, aku segera menghampirinya seraya menyalami dan mencium tangannya lalu berpamitan dan meninggalkan Haji Anwar yang masih memberikan kesempatan pada para jamaah yang lain untuk menyalami dirinya.
Dalam perjalanan ke rumah aku melintasi beberapa warga yang sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang tidak kuketahui sehingga timbullah rasa penasaran dalam diriku untuk mengetahui perbincangan mereka, tapi tiba-tiba aku mengurungkan niat karena merasa tidak sepatutnya sebagai warga baru mengetahui semua yang terjadi di desa ini. Akan tetapi ketika aku mendengar bahwa mereka sedang membicarakan Haji Anwar yang sepertinya ada hubungannya dengan keriuhan yang terjadi saat beliau memulai shalat berjamaah, sehingga aku mendengar sebagian perbincangan mereka yang menilai bahwa mereka merasa keberatan pabila Haji Anwar menjadi imam shalat isya dan taraweh berjamaah dengan alasan ketika beliau menjadi imam pasti shalat taraweh akan terasa lama sekali. Dan setelah itu aku melanjutkan perjalanan pulang.
Aku terus melangkah menuju rumah. Ada yang menyesak dalam dada. Perbincangan yang sempat kudengar sendiri membuncahkan rasa kecewa dengan sebagian warga yang sepertinya mereka tidak senang pabila Haji Anwar menjadi imam shalat isya dan shalat taraweh berjamaah. Sebenarnya perasaanku saat itu ingin mempertanyakan alasan yang membuat mereka yang tidak senang pabila Haji Anwar menjadi imam saat shalat berjamaah. Akan tetapi aku merasa tidak pantas untuk mempertanyakannya karena keadaanku sebagai warga baru desa ini yang membuatku harus bersabar dan menyimpan semuanya dalam-dalam.
***
Beberapa hari berikutnya, karena kesibukan kerja yang begitu banyak menumpuk aku tak bisa bersosialisasi dengan warga yang lain. Maka dari itu ketika semua pekerjaan telah kuselesaikan, aku pun tidak mau membuang kesempatan ini.
Saat masjid itu mengumandangkan azan, aku telah sampai di masjid dan kali ini aku memilih saf di belakang. Ketika aku memperhatikan sebagian jamaah, aku mendapati Haji Anwar yang sedang sujud di saf terdepan. Kemudian salah seorang warga mengumandangkan iqamat sebagai tanda akan dilaksanakan shalat isya berjamaah dan setelah itu shalat taraweh berjamaah.   
Pada shalat berjamaah kali ini aku merasa ada yang aneh karena tidak mendengar suara deheman seperti beberapa hari yang lalu. Mungkin karena shalat isya dan taraweh kali ini tak diimami oleh Haji Anwar sehingga apa yang aku alami beberapa hari yang lalu tidak terulang kembali sehingga shalat berjamaah kali ini terasa khusyuk.
Selesai shalat berjamaah, tampak orang-orang satu persatu beringsut merubung Haji Anwar, kemudian tampak saling bercakap-cakap, mungkin mereka meminta nasihat sebagaimana layaknya yang muda harus meminta nasihat dari yang tua. Setelah sebagian mereka pulang ke rumah masing-masing, aku segera menghampirinya.
Di awal pembicaraan kami hanya sebatas mempertanyakan kabar masing-masing. Lalu saat aku ingin membuka topik pembicaraan, sepertinya Haji Anwar mengetahui isi hatiku yang ingin mempertanyakan mengenai para warga yang merasa keberatan pabila ia menjadi imam saat shalat berjamaah. Meski begitu aku tetap mengeluarkan semua unek-unekku hingga tak tersisa.
Sejurus kemudian berhamburan penjelasan dari Haji Anwar bahwa sebenarnya ia sudah terlebih dahulu mengetahui kalau dirinya ketika menjadi imam shalat berjamaah pasti ada salah satu dari para jamaah yang merasa keberatan dengan alasan shalat berjamaah akan terasa lebih lama. Padahal menurutnya ia tidak pernah membaca surat-surat panjang. Akan tetapi tetap saja warga tidak pernah setuju bahwa setiap kali shalat berjamaah diimami olehnya.
Lalu Haji Anwar menyampaikan sesuatu yang mungkin bermanfaat untuk diriku sendiri, ia mengatakan bahwa apa yang terjadi didesa ini adalah hal yang wajar yang terjadi dikalangan masyarakat. Dan tidak mungkin dapat berubah dengan bantuan apa pun karena sesungguhnya semua itu datang dari diri sendiri yang tidak dengan ikhlas dalam menjalankan ibadah. Pabila kita menjalankan ibadah dengan ikhlas maka jalannya pun akan dipermudah dan tidak akan menjadi beban dalam menjalankan ibadah tersebut. Maka, untuk itu Haji Anwar menganggap hal ini tidak perlu dibesar-besarkan.
Aku melihat jam tangan. Sudah satu setengah jam aku menyampaikan semua unek-unek yang selama ini terganjal didalam hati. Maka pada saat itu kuambil keputusan untuk menyelesaikan perbincangan ini karena tak terasa perbincangan malam itu telah menyita waktu kami untuk beristirahat. Rupanya Haji Anwar langsung paham yang aku maksudkan. Tak lama kemudian kami keluar dari dalam masjid melangkah pergi. Di luar gerbang masjid sekali ia berpesan bahwa sesungguhnya keikhlasan itu membawa kita kepada kemudahan apa pun yang kita niatkan.
Sungguh betapa beruntungnya aku mendapatkan pesan dari seseorang yang baru kukenal namun aku merasakan bahwa ia seperti saudara sendiri karena pesan yang disampaikan sepertinya sangat tulus sehingga aku selalu berusaha menanamkan keikhlasan didalam kehidupan sehari-hari.  Semoga, Amien.
                                                                                                Depok 13 August 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar