Kamis, 30 Juni 2011

Warisan Umur


Buat kalian yang suka terhadap kisah-kisah masa lalu di desa ini, aku akan bercerita pada kalian. Mungkin kalian merasa aneh saat mengetahui nama kampung kalian ini, kenapa kampung kalian lebih terkenal dengan nama kampung warisan yang bukan nama sebenarnya, yakni yang kalian tahu kampung Nagasari. Tetapi inilah cerita yang sebenarnya terjadi dan harus kalian ketahui agar kalian dapat menceritakan kembali pada anak-cucuku nanti.
Saat itu di puncak malam, teriakan salah satu pemuda kampung memecah keheningan. Ia memanggil kedua sahabatnya yang lebih dulu jalan didepannya. Mereka bertiga memiliki tujuan yang sama dan mempunyai keinginan yang sama. Maka dari itu mereka ingin membicarakannya ditempat yang jauh dari para pendengar yang berusaha mendengarkan pembicaraan mereka.
Mereka bertiga bersahabat sejak SD. Dari persahabatan yang sudah lama itulah mereka seperti memiliki tali persaudaraan yang tak mungkin dapat dipisahkan oleh apa pun. Rumah mereka berdekatan. Usia mereka pun tak jauh berbeda. Ndut berusia 17 tahun. Jawa satu tahun lebih tua dari Ndut. Bagol lebih muda tiga tahun dari Jawa.
Lalu ketiga pemuda itu, kini berbincang dikediaman Jawa. Ketiganya duduk bersila di kursi yang mulai reot seakan tak mampu menopang berat mereka. Saat itu mereka mempunyai keinginan yang mungkin aneh menurut orang-orang lain. Keinginan mereka tak tanggung-tanggung, yakni mereka bertiga ingin memiliki tabungan bersama. Namun tabungan kali berbeda dari biasanya karena sesuai perjanjian yang berhak memiliki seluruh tabungan itu adalah salah seorang dari mereka yang masih hidup hingga kedua sahabat yang lain telah meninggal dunia. Dan tabungan mereka itu disebut oleh mereka sebagai warisan umur.
Saat itu matahari bersembunyi dibalik awan hitam. Gerimis mulai menyentuh atap rumah Jawa yang memang terbuat dari seng sehingga suara dari rintikan hujan itu terdengar dan menjadikan perbincangan mereka tidak terdengar keluar. Maka sesuai perjanjian mulai hari itu mereka harus membayar setiap harinya sebesar Rp. 10.000, dan mereka menyetujui salah satu syarat didalam perjanjian itu, apabila mereka bertiga telah pindah rumah, maka mereka wajib mengirimnya melalui biro jasa yang nantinya akan disimpan di rekening atas nama mereka bertiga yang telah mereka buat dari jauh-jauh hari sebelum perjanjian itu disetujui. Perjanjian mereka disaksikan oleh pihak-pihak yang telah mereka percayai, pihak itu nantinya yang berhak memberikan warisan itu kepada salah satu dari mereka bertiga yang  masih hidup.
Seperti hujan yang mengaris malam, perpisahan juga telah mengariskan persahabatan mereka. Satu-persatu dari mereka harus pergi meninggalkan kota Nagasari, karena mereka harus menjalani kehidupan mereka masing-masing. Di akhir pertemuan mereka berembuk untuk kali terakhir dan membuat beberapa kesepakatan, mereka harus tetap memberi kabar melalui surat mengenai kehidupan mereka, dan diantara mereka tidak boleh bermain mistik untuk mendapatkan warisan umur. Semua mengetahui arah tujuan masing-masing. Bagol menuju Desa Mayang sari, Jawa pulang ke kampung halamannya Desa Sawah timur, sedangkan Ndut tetap tinggal di Desa Nagasari.
Sejak mereka bertiga berpisah, mereka tidak pernah bertemu untuk sekedar bersilahturahmi. Semakin lama perpisahan itu, ujud persahabatan mereka seakan mulai rapuh walaupun mereka masih saling memberi kabar melalui surat.
****
Pagi hari yang cerah. Ketika itu Ndut terus menatap pohon mangga dan rambutan yang tak berbuah, yang ada hanya dedaunan kering. Sesaat bayangan akan kedua sahabatnya perlahan mulai mendekati. Melihat bayangan itu, hati dan pikirannya ingin mengetahui keadaan kedua sahabatnya. Di usianya yang menginjak delapan puluh lima tahun ia tidak lagi bertemu dengan kedua sahabatnya. Kerinduannya hanya dapat terobati dengan kabar angin dan surat-surat yang menjadi alat agar persahabatan mereka terus terjalin walaupun rasa persahabatan itu mulai rapuh.
Hingga pada suatu ketika ia tak lagi mendapatkan surat kedua sahabatnya. Namun dari kabar angin yang didapatkannya ia seakan tak percaya kalau kedua sahabatnya saling membunuh karena mereka menginginkan warisan yang telah mereka sepakati. Bahkan dari kabar angin itu kedua sahabatnya juga mempunyai maksud untuk membunuhnya. Akan tetapi mereka berdua terbunuh.
Tidak mudah untuk menguasai perasaannya yang galau saat itu. Hari-hari pertama merupakan siksaan batin baginya. Itulah saat-saat ia meragukan untuk mengambil warisan dari kedua sahabatnya. Ketika ia mengambil isi surat perjanjian, ia mencoba memikirkan sesuatu tentang warisan itu, ia berpikir antara mengambilnya atau memberikannya pada yayasan yatim piatu karena ia merasa segala kehidupannya telah tercukupi dan ia tidak perlu mengambil warisan yang hampir saja merusak nilai-nilai persahabatan.
Lalu ia meminta anak perempuannya untuk menghubungi pihak yang menjadi saksi dari perjanjian yang telah disetujui kedua sahabatnya. Mereka adalah beberapa warga yang seusia dengannya namun ada juga yang usianya lebih muda darinya, ia meminta mereka untuk datang kerumahnya tiga hari lagi. Ia juga meminta anaknya untuk mencari informasi dan menemui keluarga dari pihak kedua sahabatnya, ia menyuruh anaknya itu untuk meminta mereka menjadi saksi bahwa selama ini ada perjanjian yang tidak diketahui oleh mereka.
Keesokan harinya, saat mentari mulai meninggi ia mendengar suara pintunya diketuk. Begitu pintu terbuka, beberapa orang yang dengan mudah ia kenali sebagai saksi dari perjanjian itu, dan tiga pemuda yang tidak ia kenali. Akan tetapi ia merasa mereka bertiga yang tidak dikenalinya adalah keluarga dari ketiga sahabatnya. Lalu setelah ia berusaha menyalami satu-persatu secara hampir bersamaan ia memeluk ketiga pemuda itu, seperti ada gumpulan rindu yang hendak diledakkan di tubuhnya. Mereka tidak mengelak namun menerima semua itu tapi ada kata-kata yang membuat ketiganya heran. “Walaupun aku tidak bertemu dengan bapak kalian namun rasa rinduku seperti terobati”. Dan setelah itu ketiga baru sadar bahwa lelaki yang memeluk mereka adalah sahabat dari orang tua mereka. 
Lalu Ndut meminta mereka untuk duduk ditempat yang telah disiapkan. Ia menarik napas sejenak menghilangkan perasaan tidak percaya bahwa ia masih diberikan kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak dari kedua sahabatnya. Setelah ia dapat menguasai dirinya, ia pun mencoba untuk mengatakan maksud dan tujuannya meminta mereka datang kediamannya. ia menceritakan semuanya secara detail, hingga tidak ada satu pun yang tertinggal.
Hingga pada suatu ketika setelah Ndut menyelesaikan ceritanya, ketiga pemuda yang memang sudah dikenalinya bahwa mereka bertiga adalah anak-anak dari kedua sahabatnya seperti tidak percaya dari apa yang telah diceritakannya pada mereka. Akan tetapi setelah ia menyakinkan mereka beberapa kali, maka mereka pun percaya.
Lalu belum tuntas ia menceritakan semua yang telah terjadi beberapa tahun yang lalu, salah satu pemuda menimpalinya dengan pertanyaan, “Lalu tujuan bapak meminta kami datang kesini untuk apa?, dan bukannya bapak yang berhak menerima warisan umur itu”
Pertanyaan itu seperti menyerang hulu hatinya. Ndut mencoba untuk melanjutkan kembali ceritanya yang dapat menjadi jawaban dari pertanyaan yang telah dilontarkan dari anak kandung yang menurut pengakuannya, ia adalah anak kandung dari sahabatnya yang usianya satu tahun lebih tua dari usianya, Jawa.
“Aku akan memberikan warisan itu pada yayasan yatim piatu, karena aku merasa merekalah yang berhak menerimanya walaupun sesuai perjanjian aku yang berhak mendapatkan warisan itu. Selain itu aku tahu, kedua orang tua kalian saling membunuh karena keserakahan telah menghapus rasa persahabatan dihati mreka, untuk itu aku tidak ingin setelah aku mendapatkan warisan umur itu maka rasa persahabatanku dengan kedua orang tua kalian hilang. ”setelah Ndut mengatakan kalimat itu, ada perasaan lega dihatinya.
Suasana tiba-tiba lengang. Hingga pemuda yang mengaku bahwa dirinya juga anak kandung dari Jawa, nampak bisa menerima keinginannya. Lalu satu persatu diantara mereka pun menyetujuinya tanpa sedikit pun menolaknya. Saat itu ada kepuasaan menyelinap didalam hati Ndut, karena ia tidak lagi merasa berat jika suatu saat ia pun menyusul ketiga sahabatnya. Setelah menuntaskan warisan umur itu, Ndut mengembuskan napas terakhirnya sesaat ia merasakan kepuasaan. Anak-anaknya, pihak-pihak yang menjadi saksi dari perjanjiannya, dan ketiga anak-anak dari kedua sahabatnya menghambur ke jenazahnya yang terlihat tersenyum. Kesedihan mereka segera menguar karena budi baiknya yang tidak mau menerima warisan umur itu yang seharusnya menjadi miliknya.
****
Buat kalian yang suka akan kisah-kisah masa lalu desa ini, aku sudah seharusnya menceritakan ini pada kalian. Karena kalianlah yang akan memiliki kesempatan untuk mengisahkan kepada anak-cucuku. Aku yakin keturunanku nanti akan merasa senang karena mereka mengetahui kenapa kampung mereka diberi nama kampung warisan. Dan saat itu mungkin aku telah meninggalkan kalian untuk selamanya. Maka, kalian harus menyimpannya dengan benar semua yang aku ceritakan pada kalian saat ini. kalian juga tidak boleh melebihkan atau mengurangi cerita ini, hanya itu pesanku kepada kalian yang suka akan kisah-kisah masa lalu desa ini.
                                                                                    Depok, Maret 2011
                                                                                    Syaif hakim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar