Kamis, 30 Juni 2011

Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini


Lelaki yang terbaring di ruang perawatan VVIP rumah sakit yang cukup terkenal di Jakarta itu adalah sahabatku sejak kecil. Nama yang tertulis pada papan di bagian kaki, Tn. Rusli Hasan, 34 tahun. Seperti namanya pula, rupa dan tampangnya pun biasa-biasa saja, sederhana. Hanya badannya kurus, dan karena kurusnya maka nampaknya ia seperti orang yang berbadan jangkung. Mata dan pipinya cekung. Saat itu aku dan seluruh anggota keluarganya tak henti-hentinya untuk memanjatkan doa untuk kesehatannya.
Beberapa keluarga inti yang menunggunya berada di luar ruang perawatan khusus. Lebih banyak lagi yang berada di ruang tunggu, yang menungguinya dengan sabar. Mereka semua menunggu, juga berserah diri, karena secara medis sahabatku tinggal menunggu waktu saat malaikat maut menjemput ajalnya.
Dalam keadaan mata sebagian tertutup, ia meminta anggota keluarga yang lain untuk menunggunya di luar saja. Dan hanya aku seorang yang diminta untuk menemaninya. Suaranya tak terdengar, tapi sangat jelas. Nadanya tegas, tak bergegas walau sepertinya banyak yang ingin diungkapkannya. Saat itu ia mencoba menceritakan semua apa yang ia alami sebelum ia berada di ruang perawatan ini. Selain itu ia juga berpesan agar aku membantu untuk mendidik anak yang masih kecil pabila ia telah meninggalkan kami untuk selamanya. Aku hanya bisa mendengarkannya dan menjawab seadanya.
Ajalnya semakin dekat, aku tak bisa menahan diri untuk mengeluarkan air mata. Saat itu ia mengatakan bahwa aku tak perlu menangis, aku pun langsung membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat di akhir hidupnya. Dan saat tak ada gerakan lagi dari seluruh tubuhnya aku meminta anggota keluarganya agar masuk ke dalam ruang perawatan. Akan tetapi beberapa orang dari mereka memanggil dokter atau perawat untuk memastikan keadaannya. Di saat dokter mengatakan bahwa tidak ada lagi napas kehidupan, seluruh anggota keluarganya pun menangis. Namun aku segera meminta mereka agar tidak menagisi kematiannya.
Saat itu aku merasa harus menyampaikan sesuatu kepada anggota keluaganya yang sebenarnya sahabatku itu ingin menceritakan secara langsung pada anak mereka. Namun ia tidak mampu menceritakannya secara langsung, karena ia takut anak dan istrinya tidak kuat menahan air mata saat mereka mendengar ceritanya. Ia juga mengatakan alasannya kenapa ia harus menceritakannya kepadaku, karena ia ingin pengalamannya dapat bermanfaat untuk diriku dan aku juga berharap apa yang dialami sahabatku dapat bermanfaat untuk orang lain.
Inilah cerita tanda – tanda akhir dimana maut mulai menjemput yang di ceritakan sahabatku.
****
 “Tak ada yang kebetulan dalam hidup ini.” Itulah kalimat yang kerap di katakannya saat aku mendengar semua apa yang di ceritakannya. Biasanya setelah itu Ia akan menjelaskan bagaikan menjabarkan setiap rumus yang di pelajari dalam ilmu matematika.
”Semua yang bernyawa pasti akan mati, Wan”, lanjutnya. ”Apakah kamu sudah mempersiapkan diri untuk menyambut kematian itu datang menjemputmu? Bahkan kita kamu tak tahu kapan kamu akan mati. Tapi ada tanda-tanda yang mungkin bisa kamu rasakan saat ajal sudah dekat & ada baiknya kita merenungi tanda – tanda kematian ini agar saat ajal menjemput, kamu sudah siap menyambutnya dengan ikhlas.” Nasehat itu yang mengawali apa yang di bicarakannya padaku.
Masih segar dalam ingatannya sepuluh tahun yang lalu saat Ibuya mengakhiri hidupannya dengan mengucap kalimat syahadat di akhir napasnya. Dan ia merasa sepertinya kini gilirannya untuk merasakan yang sama seperti apa yang di rasakan Ibunya sepuluh tahun yang lalu. Mungkin juga apa yang dirasakannya bisa dirasakan orang lain. Ini tergantung pada mereka, sadar atau tidak.
Saat itu pada awalnya ia tak pernah merasakan apa yang dengar dari cerita Ibunya sepuluh tahun yang lalu. Ia merasa seperti ingin memasuki dunia yang baru yang tidak mudah ia pahami. Tubuhnya gemetaran saat mendengar suara azan ashar mengema dari rumah ke rumah. Menyusup masuk ke dalam kamar mengugah jiwanya yang terlelap. Suara itu nyaring dan seperti memcumbunya sangat mesra, sehingga ia merasakan di kakinya seperti terasa dialiri getaran-getaran yang sama sekali tidak muda untuk ia pahami.
Getaran-getaran itu terasa di seluruh tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki mengalami getaran yang seakan-akan menggigil. Seperti hewan kurban yang baru disembelih. Jika kita perhatikan dengan teliti, kita akan mendapati seakan-akan daging itu bergetar. Baginya saat itu ia dapat merasakan dan kata hatinya mengatakan bahwa mungkin ini adalah tanda kematian yang pernah ia dengar dari cerita almarhum ibunya saat seratus hari menjelang kematian Ibunya.
Saat ia merasakan getaran-getaran yang terjadi, ia mencoba mengiringi takbir alam sore itu, bibirnya bergetar mengucap takbir menjawab azan. Dengan berusaha untuk tenang ia melangkahkan kedua kakinya meninggalkan kamar dan seisi rumah yang masih lengang. Sesampainya di masjid ia memperhatikan beberapa orang sedang menatapnya tanpa henti. Mereka mengatakan seperti melihat yang berbeda dari sikapnya hari itu. Namun ia tidak mengatakan apa yang telah ia rasakan beberapa menit yang lalu. Karena kini yang ingin ia lakukan hanya mendekatkan dirinya pada sang pencipta tanpa memikirkan beraneka cerita kehidupannya pada siapa pun.
 Saat takbir pertama dalam sholat, ia hanyut dalam keindahan ayat demi ayat yang di baca sang imam. Hati dan pikirannya terbetot dalam tadabbur yang dalam. Baru kali ini ia merasakan dalam sholatnya seperti merasakan ketakutan yang luar biasa bahkan teramat sangat. Ketakutan yang selama ini ia kira saat menjelang kematian hanya biasa saja sebagai ketakutan ternyata tidak ada artinya sama sekali di bandingkan dengan ketakutannya kali ini.
”Gusti Allah, apakah ini sebagai pertanda bahwa masaku akan berakhir. Jika engkau mencabut nyawaku, aku ingin dalam keadaan khusnul khatimah. Dan aku ingin sebelum kau menyabut nyawaku, aku ingin kau menghapus semua dosa-dosaku agar aku tidak masuk ke dalam neraka-Mu yang teramat sangat panas. Hanya itu yang aku inginkan di akhir hidup, Zat yang maha pengasih-penyayang yang mengusai hidup dan mati seluruh umat manusia di muka bumi ini”, doanya di akhir sholat ketika seluruh ja’maah yang lain telah pergi meninggalkannya dalam permohonan terakhirnya. Lalu setelah ia sadar bahwa yang ia rasakan sebagai tanda kematian, maka getaran-getaran yang ia rasakan berhenti dan hilang.
****
Beberapa bulan kemudian tiba-tiba ketakutannya berangsur-angsur mulai menipis, berganti dengan ketentraman, keteduhan dan kedamaian. Ia merasakan ketentraman, keteduhan dan kedamaian tanpa akhir, yang belum pernah ia alami. Semua yang ia rasakan sekarang itu mungkin karena ia sudah mulai menerima pabila sewaktu-waktu Tuhan mencabut nyawanya. Kalau pun memang boleh ia bertanya dan meminta tentang kematiannya, ia hanya ingin bertanya apakah ia akan mati dalam keadaan baik dan meminta pada-Nya agar dirinya mendapatkan pengampunan dosa.
Lalu pikirannya seperti lupa akan kehidupan dunia berserta isinya. Tidak lagi terlalu mengejar kehidupan duniawi, memikirkan nasib pekerjaannya yang ia dengar dariku waktu itu bahwa kantor akan mengurangi pegawai. Semua itu tidak lagi mengisi pikirannya, Kosong. Hanya ketulusan dan keiklasan menjalani ibadah di akhir hidupnya.
Ketika ia mendengar kembali azan ashar seperti beberapa bulan setelah ia merasakan getaran yang kali pertama beberapa bulan yang lalu. Perasaan ketentraman, keteduhan dan kedamaian yang sudah ia rasakan hampir tiga bulan yang lalu, ternyata masih jauh dari yang seharusnya. Karena kini perasaan beberapa bulan yang lalu saat menjelang ashar ia merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Selain itu ia merasakan bagian pusat tubuh berdenyut – denyut.
Ketika itu ia ingat pelajaran Gurunya tentang kematian. Gurunya mengatakan bahwa saat ia merasakan seperti ini, daun-daun yang bertuliskan namanya akan gugur dari pohon yang letaknya di atas Arsy. Maka malaikat maut akan mengambil daun tersebut dan mulai mempersiapkan segala sesuatunya atas dirinya. Dan malaikat itu selalu mengikutinya sepanjang hari.
Pada suatu kesempatan saat ia berbicara padaku, ia mengambarkan seperti melihat orang yang sama sekali tidak ia kenal. Orang tersebut terlihat memberi senyuman padanya. Bahkan pernah ia di sapanya. Sampai kemudian ia merasakan orang yang menyapanya seperti berbeda dari orang-orang yang pernah di kenalnya. Orang yang di lihatnya dengan wajah berseri-seri seperti tanpa dosa. Keramahan dan senyumannya dapat ia mentenangkan pikirannya dan terasa sejuk di hati. Saat itu ia bertanya dalam hati, apakah ia malaikat yang akan menjemputku? Apakah kini giliranku untuk di jemputnya? Tetapi pertanyaan-pertanyaan tidak di jawab sepatah kata pun. Sampai kemudian ia jatuh sakit. Dan dokter yang memeriksa keadaannya meminta anggota keluarganya untuk merawat dirinya secara instensif dengan perawatan rumah sakit.
Setelah sahabatku di rawat di rumah sakit hampir satu minggu lamatnya ia baru mengetahui kondisinya setelah mendengar pembicaraan dokter dengan anggota keluarganya kalau dirinya mengidap penyakit paru-paru dan gagal ginjal akut. Kini ia semakin paham tentang keadaan dirinya. Bahkan sebelum ia jatuh sakit pun ia sudah tahu kalau ajalnya tinggal menunggu waktu. Maka dari itu beberapa bulan ini ia selalu dapat melihat ibunya dengan seorang lelaki berpakaian putih yang tidak di kenalnya selalu menemuinya di saat-saat tertentu.
Sejak aku mengetahui bahwa ia tak lagi mampu menceritakan. Saat itu aku memintanya untuk berhenti. Namun ia menolaknya dan menitip amanah terakhir agar aku membantu istrinya untuk mendidik anak-anaknya yang masih kecil. Saat itu aku menyagupinya dengan hanya anggukan kepala.
Lalu ketika aku hendak mengeluarkan air mata setelah mendengar cerita apa yang di alaminya, ia mengatakan seperti merasakan satu keadaan sejuk di bagian pusat dan hanya akan turun ke pinggang dan seterusnya akan naik ke bagian tenggorokan. Saat itu ia memintaku untuk membimbingnya mengucap kalimat Syahadat dan setelah itu sahabatku berdiam diri tanpa bercakap-cakap sepatah kata pun hingga dokter memastikan keadaannya bahwa ia telah meninggal dunia.
Inilah tanda – tanda akhir dimana maut mulai menjemput kita. Wallaahu’alam, kita semua tidak ada yang tahu, tapi setidaknya kita mempunyai gambaran kapan kematian itu akan segera menjemput.

                                                                                    Syaif hakim
                                                                                    Depok, Februari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar